UU Pemilu, Hadiah untuk Perempuan?
Oleh: Arline Tandiapa
KECANTIKAN Bukan Modal Utama. Itulah buku yang dikarang Angelina Sondakh beberapa bulan jelang dia melepas predikatnya sebagai Puteri Indonesia 2001. Bukan isi buku tersebut yang ingin saya ulas, namun judul buku tersebut yang menggelitik sisi feminisme saya. Karena beberapa tahun setelah buku tersebut terbit, ketimpangan terhadap peran perempuan yang selama berabad-abad terlanjur dinobatkan sebagai ratu dapur seperti menjadi relevan.
Diskriminasi hak dan kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung. Mirisnya, semua ini dibungkus dengan label yang mengatasnamakan tradisi, agama dan budaya. Sementara, prinsip dasar hak asasi manusia yang menyatakan manusia diciptakan sama begitu enteng dilanggar. Dibanding beberapa dasawarsa lalu, memang kondisi perempuan masa kini sudah lebih baik. Setidaknya, kiprah perempuan di berbagai bidang baik politik, social, ekonomi dan budaya kini mulai terbuka meski masih sedikit.
Ratifikasi CEDAW atau penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan serta UU No 22 tahun 2007 tentang pemilu, telah memberi kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya di segala bidang dan menunjukkan eksistensinya yang selama ini tertindas oleh bentuk-bentuk stereotype yang melemahkan kaum perempuan.
Pemilu 2009 ini akan menjadi moment kebangkitan bagi kaum perempuan untuk menunjukkan eksistensinya. UU No 22 tahun 2007 yang mengatur tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislative memberi kesempatan perempuan menikmati hak politiknya. Sebagai negara yang system demokrasinya masih bayi, hal ini patut disyukuri kaum perempuan Indonesia, karena meski baru sedikit, setidaknya perempuan kini punya ruang untuk bergerak di bidang politik, sebuah dunia yang selama ini terlanjur didominasi laki-laki.
Dari 200 juta penduduk Indonesia, setengahnya adalah perempuan. Namun, realitas hasil pemilu terakhir 2004 menujukkan kaum perempuan yang mengisi jabatan di parlemen tidak mencapai setengah. Di DPR RI, perempuan hanya 65 atau 11,82%. DPD kaum perempuan hanya 27 atau 21,1%. DPRD I perempuan 188 atau 10% dan DPRD II jumlah perempuan hanya 1090 atau 8% dibanding laki-laki.
Bagaimana dengan Sulut. Tak jauh beda. Kaum perempuan mendominasi lebih dari setengah jumlah penduduk Sulut yang mencapai lebih dari dua juta. Namun, prosentase perempuan yang duduk di Gedung Sario serta dekab/dekot dibanding laki-laki sangat minim. Ini baru contoh kecil, karena masih banyak ketimpangan gender yang harus diperjuangkan kaum perempuan.
Perempuan di panggung politik padahal saling berkorelasi. Fakta, jika perempuan masih mengalami subordinasi dan termarginalkan, lebih disebabkan karena hanya segelintir kebijakan, program bahkan budgeting yang disediakan untuk membela kepentingan kaum perempuan. Meski ini impian jangka panjang, namun kehadiran perempuan di lembaga-lembaga yang menjadi decision maker (legislative dan eksekutif) akan banyak membantu kepentingan perempuan. Setidaknya, apapun kebijakan yang nantinya dikeluarkan, diharapkan lebih berkeadilan gender.
PDIP sebagaimana pemberitaan media local akhir-akhir ini berjanji mengakomodir perempuan dalam daftar calon legislative nanti. Bahkan bukan sekadar mengakomodir sebagaimana amanat UU Pemilu, namun kader perempuan PDIP akan dijadikan sitter. Golkar, parpol terbesar saat ini meski belum terang-terangan namun menunjukkan tanda-tanda keberpihakan terhadap kader perempuannya. Bagaimana dengan parpol lainnya. Diakui, dengan jumlah 34 parpol peserta pemilu saat ini, mencari figure perempuan yang berkualitas dan kapabel memang mengalami kendala. Namun, setidaknya political will dari partai untuk menyelami makna uu pemilu tersebut bisa digugah. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu pun diharapkan bisa menerjemahkan semangat dari undang-undang pemilu tersebut, sehingga meski undang-undang tersebut masih mengandung kelemahan karena kurang tegas mengatur tentang minimal keterwakilan perempuan, namun dengan semangat demokrasi memberangus ketimpangan antara dominasi laki-laki dan perempuan, KPU diharapkan mengambil sikap tegas menolak parpol yang tidak berprespektif gender. Menarik ditunggu September mendatang, saat parpol mengeluarkan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatifnya, bisa terlihat parpol mana saja yang tidak berprespektif gender. Memang tak ada sanksi hukum jika parpol tidak melaksanakan amanat undang-undang pemilu tersebut, namun masyarakat yang peduli terhadap masalah gender, layak memberikan sanksi moral dengan tidak memilih parpol dan caleg yang parpolnya tidak pro gender.
Kita harus berbangga punya seorang Angelina Sondakh di Senayan. Kehadirannya di gedung wakil rakyat terhormat itu bukan semata karena daya tarik fisik, bukan karena keselebritisannya, tetapi kita harus sepakat ada nilai intelektualitas dalam diri seorang Angie. Ketika Vanda Sarundajang, Tetty Paruntu dan kader-kader parpol perempuan lainnya diakomodir dalam pencalegan nanti, semoga bukan semata memenuhi amanat uu pemilu, bukan semata karena mereka punya nilai jual tinggi, tetapi mereka ada karena memang mereka patut masuk gedung wakil rakyat mewakili suara perempuan-perempuan di Nyiur Melambai ini untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Di sinilah letak relevansi dengan judul buku karya Nona Manado tersebut. Bukan saatnya kini, perempuan mengandalkan kecantikan dan keindahan fisik.
Kepada kaum perempuan Sulut, ruang telah dibuka. Saatnya untuk membuka diri dan meningkatkan kualitas diri. Sehingga, uu pemilu ini bukan dinilai sebagai sebuah hadiah bagi perempuan namun, karena memang layak diberikan kepada perempuan. (*)
Dipublikaskan di Tribun Sulut, 18 Juli 2008
UU Pemilu