19 Sep 2008

Belum ada Judul  

Kumpulan puisi ini merupakan karya seseorang. Dengan seijin dia, saya memposting di blog saya sebagai bagian dari apresiasi saya terhadap puisi-puisinya yang penuh makna dan apresiatif. Puisi-puisi ini dikutip sebagaimana aslinya dan memang belum diberi judul oleh penciptanya. ''Selamat Menikmati'' 

Subuh mengayun di kaki mahawu 
Tak peduli basah embun di kaki 
Senyap panjang di lorong jauh 
Harus sampai dengusnya 
Ingin timang Januari yang anggun
…Ah hari tlah pagi 
(10 Juni 2008, 10.37) 


Jejak malam menitip resah
Daun mahoni luruh 
Terserak kusut di atas jalanan 
Sang waktu berbisik penat 
Malam enggan berakhir 
Menanti janji embun yang Tak kunjung turun 
(09 Juni 2008, 07.59pm) 


Kudapati saat tak mungkin 
menjelma dan nyata 
Tak kuasa menampik 
di antara bimbang dan keyakinan 
Semua bertaut dan mewarnai hari penuh makna 
Tak pernah terlintas kenyataan ini 
Tapi waktu memberi kisah sejati 
yang Tak mungkin ditepis 
Kecuali menjalani dengan baik 
Aku tak pernah berpikir berhenti di mana
Karena aku juga takut dengan kata itu
(23 agust'08) 


Ijinkan kusapa kau 
kala hati ditawan rindu 
Tak ku punya lebih 
kecuali rasa yang kian kuat menikam batin 
Bungaku kau segera tumbuh di tamanku
warnai hariku Di penat waktu yang senyap 
Ijinkan ku menjagamu
dari cemooh angin pagi 
Dan kata sumbang sang malam 
Kutau ini jalan terjal 
Tapi bersama anggukanmu 
kita menapak Mencari arah 
di rimbun harap yang nelangsa 
Ijinkanku bersamamu 
di bilik kecil anganmu 
Sekadar ungkap 
betapa kau merasukiku dari hari ke hari 
Lumpuhkan aku pada kenyataan 
aku menikmati keadaanmu 
Dan berharap tak meniup 
padam pelita yang kunyalai 
(30 Agustus 2008) 

Bukan karena waktu bukakan rasa ini 
Tak pula karena kesiur hasrat jerat alam pikir atasmu 
Banyak tak kumengerti pada jalinan yang kian kuat ini 
Ah kerap keraguan melintas penuhi auramu yang mistis 
Kutanya tak hanya ilusi kan senyawa ini? 
Bukan pula tonil yang dipanggungkan 
Atas rebah nafas yang selalu kuyub 
Terus lontarkan keyakinan untuk sebuah kesalahan…
(16 september 2008)


18 Sep 2008

SPIRIT OBAMA
Barack Obama

Oleh: Arline JK Tandiapa

”Tapi mimpi John F Kennedy itulah membuat Amerika menjejakkan kaki di bulan, mimpi yang terus hidup”

SEPERTI itulah, pembelaan Edward Kennedy saudara kandung mantan Presiden Amerika John F Kennedy (JFK) terhadap Barack Obama yang dicela lawan politiknya karena menyebut Obama cuma seorang pemimpi.
Secara fisik, Barack Obama tak begitu ‘menarik’. Dibanding pendahulu presiden Amerika, Obama kalah tampan dibanding JFK Kennedy atau Ronald Reagen. Latar belakang keluarganya pun tak sekaya George Bush atau Bil Clinton. Obama hanya seseorang yang berkulit hitam (tak bermaksud bias SARA), seorang keturunan Afro-Amerika, yang menjadi kaum minoritas di Amerika. Leluhurnya pun bukan berasal dari keluarga kaya, bahkan cenderung pas-pasan karena ayahnya merupakan seorang mahasiswa Kenya miskin yang cuma bermodal harapan nekat masuk Amerika (berkat bantuan JFK) guna mencari masa depan cerah bagi keluarganya. Dengan latar belakang tersebut, lalu apa yang membuat Obama begitu dipuja public Amerika bahkan ketika dia belum menjadi seorang presiden. Apa yang isimewa dalam pria yang pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia ini, sampai-sampai 10 juta rakyat amerika menyatakan mendukungnya ke masuk gedung putih.
Di sinilah sisi menariknya seorang Obama. Ketika Amerika di bawah pimpinan George Bush Jr, bertahan dengan gayanya yang keras, cenderung otoriter dan cuek, Obama mampu tampil dengan gayanya yang penuh perhatian, solider, familiar dan dialogis. Ketika, Bush tetap ngotot menguasai Irak, Obama lebih memilih menarik seluruh prajurit Amerika yang bertahun-tahun di Irak. Ketika Bush lebih memilih tetap bergantung suplai minyak dari timur tengah, Obama memilih untuk mendukung penciptaan sumber-sumber energy lain agar Amerika tidak tergantung ke timur tengah. Ketika Bush cuek dengan nasib rakyat pekerja dan kaum miskin Amerika, Obama berjanji akan membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya dan menghapus pajak bagi kaum pekerja Amerika.
Jurus Obama ternyata ampuh. Publik Amerika terpikat. Nampaknya warga Paman Sam sudah lelah dengan semua kebijakan-kebijakan Bush dan calon dari Partai Republik yang cenderung tidak peduli dengan keinginan rakyat Amerika umumnya. Obama mengajak warga Amerika bersama-sama melakukan perubahan karena semua programnya bukan hanya untuk kepentingan pemerintah tapi semata-mata demi kesejahteraan rakyat Amerika. Saat menyampaikan pidatonya di hadapan lebih dari 84 ribu pendukungnya di Denver Colorado sesaat dia terpilih sebagai Capres dari Partai Demokrat, Obama selalu menggunakan kata ‘kita’ bukan ‘saya’.
Perjuangan hidup Obama memang menjadi daya tarik tersendiri bagi public Amerika. Masa kecilnya di lingkungan keluarga yang sangat sederhana dan acapkali tersisih karena berasal dari kaum minoritas, Obama dengan penuh perjuangan meniti karirnya sehingga terpilih senator Negara bagian Illonois. Latar belakang itu pula yang membentuk karakter Obama lebih toleran, peka terhadap isu sosial dan mampu berinteraksi dengan baik.
Dalam pidatonya di Denver itu juga, Obama mengutip pernyataan sosok pejuang hak-hak sipil Amerika yang legendaries Marthin Luther King yang sarat motivasi. ”Kita tidak bisa berjalan sendirian. Pada saat kita melangkah, kita harus berjanji bahwa kita akan tetap terus melangkah maju. Kita tidak bisa kembali ke zaman yang lampau,” ucap Obama. Slogan ‘Change Yes We Can’ kini kuat didengungkan Public Amerika pro Obama yang rindu adanya perubahan. End of Error (akhir dari kekeliruan) adalah slogan lain yang diapresiasikan terhadap Obama. Maya Soetoro adik tiri Obama berdarah Indonesia berucap jika Obama terpilih Presiden, akan mengakhiri kekeliruan rezim pendahulu. Bagi lawan politik Obama, dia dinilai hanya seorang pemimpi. Namun, bagi Obama dan pendukungnya sebuah kesuksesan selalu diawali dengan sebuah impian.
Saya tak sedang mengagungkan Obama atau bahkan Amerika. Saya hanya tergugah dengan semangat serta keyakinannya membawa perubahan untuk masyarakat. Sejatinya, spirit itu juga bisa menjadi inspirasi para pemimpin kita termasuk para calon pemimpin kita baik di tingkatan eksekutif maupun legislative. Masyarakat kita sudah jenuh dengan intrik di tingkat elit politik, kepala daerah yang kurang peka dengan keinginan masyarakatnya dan wakil rakyat yang tak pernah menyapa rakyatnya. Sementara beban masyarakat makin hari terus bertambah. Ibu-ibu menjerit karena harga beras terus naik, minyak tanah sulit didapat, petani kesulitan pupuk, proyek terbengkalai karena kelangkaan semen, ribuan sarjana mengeluh karena minimnya lapangan kerja dan sejuta persoalan riil di tengah masyarakat yang kurang mendapat porsi perhatian pemerintah. Masyarakat butuh program nyata yang lebih manusiawi dan berpihak kepada kepentingan mereka. Bukan sekadar janji-janji politik atau proyek semusim yang lebih dipengaruhi factor kepentingan politik semata.
Sulut baru saja memilih empat pemimpin baru di empat daerah pemekaran, Bolmut, KK, Sitaro dan Mitra. Dua dari pemimpin hasil pilihan rakyat tersebut baru saja dilantik. Secara nasional, 2009 mendatang Indonesia akan menggelar pesta demokrasi lima tahunan, pemilu legislative dan pemilihan presiden. Besar harapan pesta demokrasi tersebut bukan semata sebagai agenda politik terbesar namun sebuah momentum penting untuk memilih pemimpin-pemimpin yang peka terhadap keinginan dan kepentingan rakyatnya.
Barack Obama meyakini bahwa setiap persoalan dan kebijakan politik selalu dimulai dan diakhiri cerita tentang manusia. Obama ingin menunjukkan bahwa dunia politik dan kebijakan tidak berada di ruang hampa, tetapi berhubungan langsung dengan nasib dan kehidupan manusia-manusia yang riil. Bagaimana dengan motivasi pemimpin dan calon pemimpin kita? Cuma ambisi kekuasaan kah atau naluri mengakhiri kekeliruan? (*)

Tribun Sulut 13 September 2008

28 Agu 2008


Lampu Kuning di Partai Merah   
Oleh: Arline JK Tandiapa

SATU adagium yang paling dikenal di ranah politik adalah tak ada kawan atau musuh abadi. Ketika kepentingan berbicara, itulah yang berlaku. Pelaku politik sejatinya paham benar dengan hal tersebut. Dunia politik memang tak ada warna yang baku, semua serba abu-abu.
Pun jelang Pemilu 2009 ini, konteks tersebut makin kentara. Tak lagi bermain di ruang abu-abu namun makin lama makin jelas bahkan cenderung terang benderang. Cegal menjegal menjadi sesuatu yang lazim di internal partai politik tatkala berbicara tentang nomor urut. Fenomena ini terlihat merata di semua parpol peserta pemilu. Namun, dari pengamatan empiris saya konflik internal partai yang paling panas datang dari partai yang dominan dengan warna merah yakni PDIP.
Berbagai gejolak di internal partai mencuat akhir-akhir ini. Terakhir, mundurnya sejumlah kader dari jajaran structural partai di Kota Manado dan lainnya dari proses pencalonan anggota legislative, menggoreskan tanya ada apa dengan moncong putih?
Semoga tak keliru, namun sepertinya ada kerancuan dalam pemberlakukan aturan main di tubuh PDIP, khususnya dalam penerapan system proporsional terbuka tapi terbatas ala PDIP. Skep 210 yang dikeluarkan DPP tentang tata cara penjaringan dan penentuan anggota legislative semestinya sudah jelas. Bahwa alat ukur penentuan bakal calon harus berdasarkan kompetensi dan profesionalisme. Namun, baik pengurus daerah dan provinsi harus melaporkan ke DPP guna memperoleh legitimasi terhadap draft penjaringan dan daftar calon yang telah disusun berdasarkan sejumlah indicator sebagaimana amanat skep 210 tersebut.
Di sinilah akar konflik muncul. DPP yang memiliki kewenangan mengesahkan daftar calon sementara sebelum disampaikan ke KPU, berpeluang mengutak-atik nama dan nomor yang sudah disusun dari daerah. Kondisi ini jelas membuka peluang besar terjadinya kolusi dan nepotisme bahkan indikasi permainan uang. Siapa yang mampu secara materi jelas bisa dengan mudahnya merapat ke pihak pengambil putusan. Siapa yang memiliki kedekatan dengan lingkaran elit bisa terjamin ambisinya terwujud. Hak prerogratif pengurus pusat, ketua partai dan elit pimpinan inilah yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan di tingkat pengurus daerah yang kemudian menjadi konflik internal partai. Sayangnya, pengurus daerah sepertinya tidak punya power atau memang tak berniat untuk ‘menginterupsi’ intervensi pusat. Mudah-mudahan kelemahan tersebut bukan karena adanya konspirasi. Padahal, jika memang daerah mau sedikit saja ‘membangkang’, mudah saja berargumen. Logikanya, yang paling tahu kondisi daerah adalah pengurus daerah. Yang paling tahu strategi apa yang harus dimainkan di tiap-tiap dapil adalah pengurus daerah.
Anomali lainnya yang memicu gejolak di partai kedua terbesar di Negara ini yakni adanya hak prerogratif dari pengurus provinsi dalam menempatkan figure dalam daftar pencalonan. Hak prerogratif yang dibungkus dengan label ‘penugasan partai’ dengan mudahnya mementahkan semua indicator penjaringan yang diperoleh langsung dari konstituen terbawah yakni rakyat. Skep 210 ternyata hanya merupakan alat bantu. Adalah sebuah pengecualian alasan penugasan partai diberlakukan berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi. (Misalnya, tak ada kader potensial atau minimnya kader di dapil tertentu termasuk affirmative action keterwakilan perempuan).
Wajar jika kemudian ada kader yang ‘cemburu’ melihat elit partai mengistimewakan pendatang baru apalagi yang berkategori oportunis. Karena pada akhirnya, kompetensi dan profesionalisme sebagai kader, pengurus dan pejuang partai menjadi sia-sia. Sumbangsih dan loyalitas kepada partai bukan menjadi ukuran penghargaan balik partai. Manusiawi memang jika kemudian ada kader yang kecewa, sakit hati, terluka yang saking marahnya memilih menanggalkan baju partai.
Konflik di internal partai sebenarnya hal yang biasa dalam dinamika politik. Persoalannya, jika gejolak tersebut tidak ditangani serius akan berimbas jauh terhadap citra partai itu sendiri. PDIP harus lebih berhati-hati dalam membungkus semua gejolak dan konflik di internal partai. Jika tak bisa menemukan formula yang pas dalam meredam setiap konflik internal, ini akan menjadi lampu kuning bagi citra partai ke depan. Jangan jumawa dengan berbagai survey nasional yang menomorsatukan. Jangan terlalu percaya diri bahwa moncong putih punya massa tradisional yang mengakar. Pemilih termasuk massa tradional sekarang mulai jeli dan melek politik. Mereka sudah bisa menyimpulkan setiap kebijakan partai saat ini nantinya apakah akan berpihak kepada mereka atau tidak. Wibawa partai harus bisa dijaga.
Dunia politik memang sarat dengan kepentingan. Ideal bagi kita belum tentu ideal dalam pandangan lembaga. Kita pantas ikut prihatin apa yang terjadi terhadap figure-figur yang merasa dikecewakan partai. Tetapi, tak adil pula jika partai satu-satunya yang harus dipersalahkan. Berpositif thinking bahwa bisa saja apa yang dirancang partai merupakan sebuah grand scenario untuk sebuah tujuan politik ke depan yakni genggaman kemenangan. Bahwa sebuah tujuan akhir dari setiap target politik memang membutuhkan pengorbanan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka pelaku politik harus bisa menerima apa putusan partai. Kekecewaan, sakit hati, terluka, tak dihargai bahkan dizolimi merupakan sebuah konsekuensi yang harus siap diterima tiap-tiap individu ketika memilih masuk di ranah politik. (meskipun jangan sampai larut dengan nasib). Kesempatan memang sudah ada. Sayangnya, di banyak situasi termasuk di dunia politik yang layak tak mendapat kesempatan sementara yang tak layak malah mudah mendapat kesempatan.
Sebuah sistim yang diciptakan di partai merupakan keterkaitan besar dari sebuah sistem menyeluruh di dalam proses pembelajaran politik dalam membangun sistem demokrasi negara kita yang sampai kini masih berada dalam tahap pencarian bentuk. (*)

Mari Bersahabat dengan Alam
Oleh: Arline JK Tandiapa

TAK ada bencana (alam) yang dampaknya tidak mengerikan. Kondisi itu juga yang kini melanda sejumlah wilayah di Sulut akibat terkena banjir dan tanah longsor. Dari sejumlah wilayah yang terkena bencana seperti Manado, Minahasa, Bolmong Selatan merupakan wilayah paling parah yang terkena dampak bencana ini.
Kerugian jiwa dan materil sudah pasti dialami ribuan warga Bolsel. Dampak lebih luas kemungkinan akan ikut dirasakan warga Sulut. Bisa jadi dalam beberapa pekan atau bulan ke depan, Sulut terancam kelangkaan beras yang berimbas pada melonjaknya harga beras. Ini akibat, kegagalan panen oleh petani di Bolsel akibat ratusan hektar sawah yang berubah menjadi danau akibat terendam banjir. Padahal, di Sulut Bolmong (termasuk Bolsel) merupakan lumbung beras.
Data terakhir yang dirilis Satkorlak Pemkab Bolmong menyatakan, kerugian akibat bencana banjir sudah mencapai 45 miliar. Ini sudah termasuk kerusakan infrastruktur, rumah penduduk yang hancur dan lahan pertanian yang hancur diterjang banjir. Pemprov Sulut sudah mengusulkan permintaan dana penanggulangan bencana kepada Pemerintah Pusat dan langsung direspon. Informasi, ada sekitar Rp 35 miliar siap dikucurkan Pemerintah Pusat untuk penanggulangan bencana di Bolsel tersebut yang akan dialokasikan untuk pembangunan kembali infrastruktur yang rusak, bantuan kepada warga yang rumahnya hancur dan ganti rugi lainnya.
Seperti itulah gambaran atau pola penanganan bencana yang selama ini dilakukan pemerintah. Miliaran rupiah terus-menerus dikucurkan untuk tahap rehabilitasi tersebut, dan setiap kali bencana itu datang miliaran dana yang sudah dikucurkan itu ikut hancur lebur menguap sia-sia disapu bencana. Dan lagi-lagi alam disalahkan. Ketika murka alam tak bisa dibendung, ketika korban berjatuhan, ketika kerugian mendera semua lini, semua sontak terbangun saling tuding, saling menggugat, pontang panting berteriak minta tolong bahkan rela mengemis minta dikasihani dan tak tabu mencaci tatkala erangan penderitaaan tak digubris. Semua tiba-tiba saja berubah rupa bak pahlawan kesiangan. Dan saat alam diam dalam kedamaian, manusia pun ikut menjadi bisu.
Harusnya, pola penanganan bencana mulai dirubah, bukan semata terfokus pada penyiapan dana bencana. Bukankah lebih baik, milyaran dana bencana yang dialokasikan, diperuntukkan untuk memperbaiki akar dari permasalahan.
Memang tindakan yang sangat manusiawi dan mutlak dilakukan ketika korban berjatuhan, ketika kerugian terlanjur mendera. Namun, sesungguhnya itu hanya menyelesaikan persoalan sementara saja. Karena bencana khususnya banjir dan longsor kini sudah menjadi tradisi terjadi setiap tahunnya melanda silih berganti wilayah di Sulut sehingga jika pola penanganan bencana terus dilakukan demikian, milyaran dana yang tersalur tahun-tahun sebelumnya menjadi sia-sia belaka.
Pemerintah dan masyarakat harus tanggap terhadap situasi seperti ini. Tindakan preventif harus segera dilakukan. Pembenahan lingkungan menjadi sesuatu yang urgen dilakukan. Penanganan kasus ileggal logging, eksploitasi sumber daya alam berlebihan, pembukaan hutan dengan alasan perluasan lahan pertanian, pertambangan, penataan tata ruang serta semua factor yang ada kaitannya dengan pelestarian lingkungan dan pencegahan bencana harus segera ditata, ditertibkan, ditegaskan bahkan wajib dilakukan.
Catatan rekan saya di Harian Posko kemarin setidaknya memiliki semangat yang sama dengan maksud tulisan ini. Bahwa metode penanganan bencana alam seperti yang dilakukan pemerintah sekarang sudah usang dan perlu diubah. Tanpa bermaksud mengesampingkan sisi manusiawinya, namun pola penanganan korban tidak perlu difokuskan dalam bentuk pemberian bantuan seperti supermi, pakaian bekas atau uang secara langsung kepada para korban.
Dana harusnya bukan menjadi penghalang menjalankan tugas maha mulia ini. JIka untuk menanggulangi bencana pemerintah tak segan mengeluarkan hingga milyaran rupiah, maka sewajarny pula jika untuk upaya pencegahan, rupiah tidak menjadi alasan. Setidaknya, upaya antisipatif akan meminimalisasi dampak ketika alam kembali mengamuk. Bukankah, pepatah kuno telah mengingatkan sedia payung sebelum hujan.
Karena berbeda dengan peristiwa alam (gempa, gunung meletus, tsunami, topan) yang cenderung tak bisa diprediksi karena di luar kuasa manusia, sebuah bencana alam seperti banjir dan longsor masih bisa diantisipasi, setidaknya diminimalisir. Bencana alam memang terjadi juga karena restu Sang Penguasa Alam Raya, namun fakta menyebutkan prosentase terbesar bencana banjir dan longsor lebih disebabkan karena ulah manusia.
Selain tindakan preventif, masyarakat perlu disadarkan tentang betapa pentingnya melestarikan lingkungan. Alam banyak memberikan nafkah kehidupan kepada makhluk yang bernama manusia, namun alam bisa murka jika manusia salah memanfaatkan. Kalimat bijak berkata pengalaman adalah guru terbaik. Dampak bencana alam selalu mengerikan, karena itu tak ada salahnya jika kita berdamai dengan alam. (*)
Dipublikasikan di Tribun Sulut, 1 Agustus 2008

26 Agu 2008

Potret  Muram Generasi Pewaris
Oleh: Arline JK Tandiapa



anak adalah sebuah awal kehidupan
awal kehidupan adalah warna masa depan anak
jangan sia-siakan awal ini
jangan sampai sesal itu terjadi kelak
saat warna suram terlanjur selimuti masa depan anak
(widodo j)

TAK ada gembar-gembor, tak ada kemeriahan, bahkan nyaris terlupakan. Begitulah suasana peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli baru lewat. Moment tersebut terlewat begitu saja, tenggelam di balik rutinitas dan egoisme para makhluk dewasa yang tak henti mengejar ambisi.
Tulisan ini tak bermaksud menggurui. Hanya ingin mengajak kita sedikit berefleksi merenungi sudah sejauh mana kepedulian dan kepekaan kita menyiapkan masa depan anak-anak kita, anak yang disebut tunas bangsa, generasi penerus dan tongkat estafet bangsa. Ataukah semua sebutan itu hanya menjadi sebutan tanpa makna, jargon semata.
Kita boleh berbangga, bahwa potensi anak-anak Sulut sangat menggembirakan. Angka kelulusan siswa-siswa di daerah ini tiap tahun terus memperlihatkan trend kenaikan. Prestasi di bidang pendidikan, kesehatan dan olahraga terus dicetak oleh anak-anak daerah ini sebagaimana ungkapan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sulut Ir Greety Sumayku. Kita melupakan masih banyak anak-anak di daerah ini yang tak seberuntung teman-teman mereka. Data Dinas Sosial Manado mengungkap fakta ada 496 anak yang berstatus pengangguran anak. Mereka hidup sebagai anak jalanan, pengemis dan anak cacat. Itu jumlah yang terdata. Masih banyak anak-anak serupa yang tersebar di 12 kabupaten/kota lainnya di Sulut. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, mengungkap lebih banyak. Di seluruh Indonesia terdapat 3.940.300 anak terlantar dengan usia di atas lima tahun. Dari jumlah itu terdapat 1.467.000 balita
Memiriskan, Sulut yang Indeks Pembangunan Manusia nomor 2 di Indonesia, ternyata masih menyimpan ratusan bahkan ribuan anak (0-18 tahun) yang tak bisa menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak. Di usia yang harusnya diisi mereka untuk investasi masa depan yang cerah, mereka sudah dipaksakan untuk mengenal kerasnya perjuangan hidup.
Pemerintah, masyarakat termasuk media, melupakan atau sengaja menutup mata bahwa faktanya ada ratusan anak di daerah ini yang bergelimang kemiskinan, menghabiskan hari-harinya di jalanan sebagai pengemis, pedagang asongan, pemulung (anak-anak sumompo) dan yang paling menyedihkan terpaksa menjadi wanita tuna susila akibat beban ekonomi atau korban trafficking.
Pemerintah sebenarnya harus bertanggungjawab terhadap buruknya kondisi anak-anak di daerah ini. Sebagai pemerintah yang memiliki kekuasaan, mereka sepantasnya dipersalahkan karena acapkali membuat kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat miskin. Sulut yang memiliki kekayaan alam luar biasa ternyata masih mengkoleksi 127.387 KK miskin sebagaimana paparan data BPS Sulut terhadap jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) penerima BLT 2008. Padahal kemiskinan menjadi factor utama penyebab hak-hak anak dirampas. Anak yang berasal dari keluarga miskin kerap mengalami subordinasi. Diejek, dihina dijauhi bahkan dikucilkan dari lingkungan sepermainan. Seorang anak pembantu juga kerap ikut diperlakukan layaknya ayah atau ibunya oleh keluarga majikan. Bangku sekolah kadang tinggal menjadi sebuah impian. Sungguh menyedihkan, hanya karena mereka miskin, hak mereka sebagai anak harus direnggut. ‘’Ada banyak orang yang tak beruntung di negeri ini’’ meminjam dialog Deddy Miswar dalam film Nagabonar 2, anak-anak ini termasuk dari orang-orang tak beruntung itu.
Karena itu, penganggaran yang lebih berpihak kepada pemberantasan kemiskinan harus lebih diperbanyak dan dimaksimalkan. Program-program social sebagai bentuk penguatan kepada keluarga-keluarga miskin harus lebih diintensifkan. Bantuan kesehatan gratis kepada keluarga miskin harus lebih fleksibel dan diatur tepat pada sasaran. Anggaran 20 persen pendidikan di APBD belum terpenuhi. Kalau pun kemudian terealisasi, tidak akan langsung menyentuh sasaran, karena anggaran itu akan ikut dinikmati secara merata seluruh anak. Program beasiswa dan SPP gratis lebih banyak diberikan atas dasar like or dislike, know or unknown alias KKN. Pemerintah pun harusnya melakukan intervensi terhadap sekolah-sekolah dan perguruan tinggi swasta dan negeri yang terlalu menganaktirikan anak-anak dari keluarga tak mampu. Bukti kalau setiap tahun ajaran baru, omzet pegadaian naik menunjukkan biaya pendidikan makin mahal sementara kemampuan ekonomi keluarga masih pas-pasan. Padahal, untuk menikmati pendidikan yang berkualitas di sekolah dan perguruan tinggi unggulan, bukan hanya milik anak-anak mampu tetapi semua anak memiliki hak yang sama dalam hal memperoleh pendidikan berkualitas. Terbatasnya dana yang kerap dilontarkan pemerintah adalah alasan klise menutupi sebenarnya sikap masa bodoh.
Namun tak adil jika pemerintah menjadi pihak satu-satunya yang harus bertanggungjawab terhadap kehidupan anak. Terkadang, sebagai orang tua kita terjebak pada egoisme pribadi menjadikan anak asset berharga, tumpuan keluarga di masa depan sehingga kita merasa berhak mengatur hidup mereka. Tak kita sadari, hak mereka sementara kita rampas. ‘’Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu, karena mereka mempunyai pemikiran sendiri,’’ (Kahlil Gibran-Puisi Tentang Anak)
Lingkungan dan keluarga pun berperan penting dalam memberikan contoh nyata dalam pembentukan kepribadian anak-anak sejak dini. Ibarat sketsa, contoh lingkungan sehari mereka akan terlukis lembar demi lembar mewarnai kehidupan mereka dan pada akhirnya membentuk utuh kepribadian mereka. Jika sketsa tersebut kemudian berwarna hitam, kelak negeri ini juga kelam. Karena apa yang akan terjadi 10-20 tahun mendatang, sangat ditentukan hari ini.
Coba pandang wajah polos anak-anak negeri yang tak beruntung ini. Biarkan empati berbicara di relung hati membuka indera kepedulian kita. Dan cobalah tatap mata anak-anak negeri yang tak beruntung ini, keceriaan mereka sesungguhnya hanya semu belaka karena mereka adalah potret muram para generasi pewaris yang dipajang dalam sebuah bingkai emas negeri yang berlimpah susu. (*)


Dipublikasikan di Tribun Sulut, 25 Juli 2008
Danau Tondano

Danau Tondano 
Menuju Legenda Kedua
Oleh: Arline Tandiapa

MALAM perlahan merambat suatu hari pekan lalu, saya terlibat diskusi dengan seorang teman. Fokus pembicaraan terarah kepada sebuah sosok yang akhir-akhir ini sepertinya menjadi single fighter di ranah Minahasa, karena komitment dan kerja kerasnya membasmi eceng gondok yang perlahan namun pasti ‘membunuh’ keberadaan Danau Tondano.
Drs Stevanus Vreeke Runtu yang kini beken dengan sebutan SVR memang sedang gencar-gencarnya membasmi keberadaan eceng gondok yang makin menguasai danau. Rasa salut pantas dilayangkan kepadanya. Perkiraan jika, konsep pelestarian Danau Tondano hanya menjadi bahan jualan Pilkada Minahasa akhir tahun lalu ketika Runtu menjadi salah satu kandidatnya, ternyata meleset. Beberapa bulan telah berlalu setelah dia dilantik bupati, rencana besarnya untuk membuat Danau Tondano bersih dari ancaman eceng gondok tetap terpatri di dirinya. Bahkan Agustus mendatang, Runtu berjanji danau tersebut bersih dari tanaman liar tersebut.
Danau Tondano yang memiliki luas 4.278 hektar ini menjadi sumber hayati bagi seluruh warga Minahasa dan sekitar. Sebagian besar warga menggantungkan kelangsungan hidup mereka pada danau ini. Bahkan sepanjang DAS Danau Tondano yang mengairi hingga bermuara di Teluk Manado, turut memberikan manfaat bagi warga di seputar DAS. Perusahaan listrik negara pun bahkan bergantung banyak pada kestabilan aliran debit sungai Danau Tondano guna menjaga pasokan daya listrik di wilayah Sulut terutama Manado, Minahasa dan Bitung. Sebagai danau terbesar di Sulut, Danau Tondano menjadi landmarknya atau ikon pariwisata di Sulawesi dan Minahasa khususnya.
Jika kita sepakat terhadap betapa pentingnya keberadaan Danau Tondano, kenapa kita hanya membiarkan diri berpangku tangan menjadi penonton melihat sepak terjang dan usaha keras dari Vreeke Runtu menyelamatkan Danau Tondano. Harusnya, Danau Tondano bukan hanya menjadi beban seorang Bupati Minahasa atau segelintir kelompok peduli lingkungan melainkan juga harus menjadi komitment bersama warga Minahasa dan Sulut. Bukan sekadar tanggungjawab Pemerintah Minahasa, tetapi juga semua kepala daerah, kepala pemerintah dan masyarakat di Sulut. Sebuah realitas yang belum terlihat saat ini. Apalagi, kekritisan Danau Tondano bukan semata hanya disebabkan tumbuhan gulma seperti eceng gondok. Faktor kerusakan lingkungan di sekitar danau menambah laju kekritisan danau, sehingga membutuhkan penanganan terpadu dari semua komponen.
Danau ini konon terjadi karena letusan dahsyat berawal dari kisah sepasang kekasih yang melanggar larangan orang tua untuk kawin dengan nekat lari di hutan yang bergunung kembar. Akibat melanggar larangan orang tua maka meletuslah kembaran gunung kaweng tersebut sehingga menjadi danau Tondano. Setidaknya itulah legenda tentang asal mula terjadinya Danau Tondano yang diyakini warga Minahasa hingga kini.
Kurangnya kepedulian terhadap kelestarian Danau Tondano tak kita sadari mendorong Danau Tondano menuju pada kepunahan. Sebuah penelitian mengungkap fakta mengerikan, tiap tahun Danau Tondano terjadi pendangkalan 35 cm, yang dalam perhitungan dengan laju pendangkalan tersebut, diperkirakan tahun 2047 Danau Tondano akan hilang dari peta wilayah Minahasa dan Sulut.
Tegakah, kita melihat danau yang menjadi sumber hajat hidup warga Minahasa dan sekitar bahkan landmarknya Tanah Toar Lumimuut ini berubah mengerikan menjadi hamparan padang gurun nan tandus. Jika itu terjadi, Danau Tondano akan melahirkan legenda kedua di Minahasa. Relakah kita? (*)

Dipublikasikan di Tribun Sulut, 11 Juli 2008


Jalan Panjang Perempuan
di Remangnya Korupsi

Oleh: Arline Tandiapa

EPISODE tiga serial bertajuk MBH Gate sudah bergulir. Hingga kini, kasus yang diduga berindikasi korupsi karena merugikan daerah kurang lebih Rp11 miliar sudah menelan korban tiga orang. Dua mantan anggota Legislator Sulut dan satu warga sipil sudah ditahan. Kemungkinan besar akan diikuti person lainnya yang terkait dengan persoalan penyelesaian hutang hotel yang pernah menjadi kebanggan Sulut ini. Bagaimana ending dari MBH gate ini, kita tunggu saja. Ada hal menarik lainnya yang ingin saya gugah dalam tulisan ini berangkat dari contoh kasus MBH gate ini.
***
Mari kita berandai-andai. Jika 11 miliar dana penanggulangan MBH yang diduga bermasalah dan merugikan daerah itu dibelikan susu, akan berapa kaleng susu yang bisa dibeli untuk berapa anak dan balita yang kekurangan gizi. Tak perlu menggunakan hitungan yang matematis, namun logikanya dengan standart harga susu murah saat ini seharga Rp6000, maka 11 miliar dana MBH bisa membeli kurang lebih 1.835.000 kaleng susu. Dibagi untuk berapah anak dan balita? Sebagaimana paparan Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial saat peringatan Hari Anak Nasional 2008 23 Juli lalu, di seluruh Indonesia ada 1.467.000 balita yang masuk kategori terlantar dan kekurangan gizi. Untuk Sulut? Dipastikan, semua anak dan balita yang masuk kategori miskin, gizi buruk, busung lapar akan bisa menikmati susu gratis selama beberapa bulan ke depan. Hebat bukan! Atau andai saja 11 miliar tersebut digunakan untuk program pengentasan kemiskinan, mungkin jumlah pendudukan miskin di Sulut akan berkurang. Di Sulut sebagaimana data BPS, untuk tahun 2008 ada 127.387 Rumah Tangga Miskin (RTM) yang berhak menerima BLT. Selain MBH gate, ada banyak kasus penyimpangan keuangan daerah yang berindikasi korupsi di Sulut yang belum terungkap. Deposito gate, Blazer gate, Kasus Alat berat, tunjangan dana makan minum pegawai dan kasus mark up alokasi anggaran yang bersumber dari APBD, DAK dan dana dekon. Semua bernilai lebih dari sembilan digit angka nol. Sebuah angka yang fantastis bagi mayarakat ekonomi lemah kalau tak disebut miskin. Korupsi sebuah praktek yang selama berabad-abad pula menjadi momok di kehidupan manusia, tak banyak dilihat sebagai sesuatu yang sangat merugikan kaum perempuan. Bagaimana bisa? Korupsi tak selalu identik dengan mencuri karena ada banyak bentuk korupsi lain yang harusnya lebih diwaspadai oleh masyarakat dewasa ini yakni penyusunan anggaran public. Praktek korupsi sangat besar peluangnya terjadi di penyusunan APBN/APBD yang tidak memihak kepentingan public tetapi cenderung menguntungkan para decision maker. Anggaran public seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur erat hubungannya dengan perempuan. Angka kematian ibu melahirkan, gizi buruk, busung lapar, buta huruf, anak putus sekolah di daerah ini masih tinggi. Begitupun dengan angka kemiskinan belum menggembirakan. Sehingga perempuan yang miskin di tambah tingkat pendidikan yang rendah hanya bisa bekerja di sector informal. Korelasinya jelas, suburnya praktek korupsi menyebabkan kemiskinan yang dampaknya makin banyak pula perempuan yang menjadi korban. Potensi perempuan sebagai korban terbesar praktek korupsi dilihat dari populasi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Beberapa hal di atas merupakan dampak korupsi terhadap proses pemiskinan perempuan yang masih berlangsung sampai detik ini. Masih banyak dampak korupsi secara luas yang berkaitan dengan proses demokrasi.
Sayangnya, penanganan kasus korupsi hingga kini hanya terkosentrasi pada bagian tengahnya saja. Motivasi dari penanganan kasus-kasus korupsi hanya terbatas untuk pemberian sanksi (hukuman) kepada pelaku dan pengembalian asset. Sementara akar dan dampak terhadap praktek korupsi belum menjadi focus perhatian. Ironisnya, di negara ini termasuk Sulut, ada banyak lembaga social yang mengklaim diri bergerak di bidang anti korupsi. Sayangnya, misi, program serta strategi gerakan mereka hanya terbatas pada advokasi dan pressure untuk pemberian sanksi dan pengembalian kerugian, yang sebenarnya tugas tersebut sudah menjadi kewajiban dan misi dari pemerintah (KPK, Kejati, Kepolisian). Padahal sebagai lembaga/oragnisasi yang menyatakan anti korupsi sejatinya gerakan serta program harus lebih memfokuskan terhadap upaya preventif. Menganalisa sumber masalah serta dampak terhadap praktek korupsi, diharapkan bisa merumuskan program serta strategi untuk mencegah terjadinya praktek korupsi, minimal bisa mengeliminir.
Tak mudah memang. Ada saja hambatan yang membuat gerakan anti korupsi kurang memiliki power. Kurangnya sinergitas antar lembaga sejenis serta gerakan social lainnya amat mempengaruhi besar kecilnya keberhasilan gerakan. Faktanya, masing-masing lembaga social, berjalan sendiri-sendiri dengan egoisme nama lembaga, pengurus dan donor. Parahnya, ada lembaga yang hanya dijadikan alat untuk kepentingan individu pengurus apakah untuk mendongkrak ketenaran nama sebagai pimpinan organisasi atau untuk bargaining khusus dengan pelaku kejahatan korupsi. Gerakan perempuan pun, meski bergerak dengan kacamata perjuangan Hak Asasi Manusia, namun belum memasukkan isu korupsi sebagai program prioritas. Harus diakui isu korupsi jarang sekali dikaitkan dengan isu-isu perempuan. Isu anti korupsi masih dianggap wacana di tingkat elitis dan pegiat anti korupsi belum mampu menjelaskan bahwa korupsi akan berdampak langsung terhadap persoalan masyarakat secara riil termasuk didalamnya persoalan perempuan. Ini lebih disebabkan lemahnya pemahaman tentang mainstream gender oleh organisasi yang bergerak di anti korupsi. “Ibarat dua kereta api di lintasan yang sama, mereka searah dan sejajar tapi tak pernah ketemu,” ucap salah satu aktivis di sebuah lembaga kajian nasional.Sulit memang mencari rumusan untuk mensinergikan gerakan anti korupsi dan gerakan perempuan. Padahal jika dua kekuatan ini bisa disatukan meski praktik korupsi terjadi di keremangan dan kegelapan, diyakini mampu ditekan, hak-hak perempuan terpenuhi dan yang paling penting terciptanya clean and good governance yang dengan sendirinya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menguat. Jika kekuatan gerakan anti korupsi masih lemah, pemerintah sebagai pengambil keputusan diharapkan bisa lebih peduli dan peka terhadap pemenuhan hak-hak perempuan lewat penganggaran yang lebih responsive gender.
***
Lebih dari separuh dunia ini ditempati kaum perempuan, namun selama berabad-abad, perempuan terbelenggu dalam kungkungan kaum lelaki di hampir semua bidang. Angin perubahan berhembus di abad ini, dunia seni budaya, ekonomi, politik dan sciene tak lagi didominasi kaum maskulin. Sayang, kaum perempuan tak siap dengan kesempatan yang terbuka ini. Tak heran, hingga saat ini, eksistensi perempuan masih mengambang, tenggelam di balik bayang-bayang dominasi kaum laki-laki. Kepentingan perempuan hingga kini masih belum dianggap prioritas bahkan perempuan terus mengalami korban terhadap sejumlah kebijakan.
Namun, bukan berarti pesimis. Sebagaimana, perjuangan panjang perempuan di bidang politik yang sukses dengan affirmative action kuota 30 persen saat ini, perjuangan anti korupsi lewat alokasi penganggaran yang responsive gender memang pekerjaan rumah yang membutuhkan waktu dan energy. Untuk suatu perubahan yang baik, tak ada kata pesimis. Hidup adalah perjuangan, maka sejatinya, setiap elemen gerakan saling bersinergi, berbagi sumber daya, pikiran, ide bahkan materi untuk menghasilkan kekuatan besar demi kehidupan yang lebih baik. (*)


Dipublikasikan di Tribun Sulut 15 Agustus2008

UU Pemilu, Hadiah untuk Perempuan?
Oleh: Arline Tandiapa

KECANTIKAN Bukan Modal Utama. Itulah buku yang dikarang Angelina Sondakh beberapa bulan jelang dia melepas predikatnya sebagai Puteri Indonesia 2001. Bukan isi buku tersebut yang ingin saya ulas, namun judul buku tersebut yang menggelitik sisi feminisme saya. Karena beberapa tahun setelah buku tersebut terbit, ketimpangan terhadap peran perempuan yang selama berabad-abad terlanjur dinobatkan sebagai ratu dapur seperti menjadi relevan.
Diskriminasi hak dan kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung. Mirisnya, semua ini dibungkus dengan label yang mengatasnamakan tradisi, agama dan budaya. Sementara, prinsip dasar hak asasi manusia yang menyatakan manusia diciptakan sama begitu enteng dilanggar. Dibanding beberapa dasawarsa lalu, memang kondisi perempuan masa kini sudah lebih baik. Setidaknya, kiprah perempuan di berbagai bidang baik politik, social, ekonomi dan budaya kini mulai terbuka meski masih sedikit.
Ratifikasi CEDAW atau penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan serta UU No 22 tahun 2007 tentang pemilu, telah memberi kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya di segala bidang dan menunjukkan eksistensinya yang selama ini tertindas oleh bentuk-bentuk stereotype yang melemahkan kaum perempuan.
Pemilu 2009 ini akan menjadi moment kebangkitan bagi kaum perempuan untuk menunjukkan eksistensinya. UU No 22 tahun 2007 yang mengatur tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislative memberi kesempatan perempuan menikmati hak politiknya. Sebagai negara yang system demokrasinya masih bayi, hal ini patut disyukuri kaum perempuan Indonesia, karena meski baru sedikit, setidaknya perempuan kini punya ruang untuk bergerak di bidang politik, sebuah dunia yang selama ini terlanjur didominasi laki-laki.
Dari 200 juta penduduk Indonesia, setengahnya adalah perempuan. Namun, realitas hasil pemilu terakhir 2004 menujukkan kaum perempuan yang mengisi jabatan di parlemen tidak mencapai setengah. Di DPR RI, perempuan hanya 65 atau 11,82%. DPD kaum perempuan hanya 27 atau 21,1%. DPRD I perempuan 188 atau 10% dan DPRD II jumlah perempuan hanya 1090 atau 8% dibanding laki-laki.
Bagaimana dengan Sulut. Tak jauh beda. Kaum perempuan mendominasi lebih dari setengah jumlah penduduk Sulut yang mencapai lebih dari dua juta. Namun, prosentase perempuan yang duduk di Gedung Sario serta dekab/dekot dibanding laki-laki sangat minim. Ini baru contoh kecil, karena masih banyak ketimpangan gender yang harus diperjuangkan kaum perempuan.
Perempuan di panggung politik padahal saling berkorelasi. Fakta, jika perempuan masih mengalami subordinasi dan termarginalkan, lebih disebabkan karena hanya segelintir kebijakan, program bahkan budgeting yang disediakan untuk membela kepentingan kaum perempuan. Meski ini impian jangka panjang, namun kehadiran perempuan di lembaga-lembaga yang menjadi decision maker (legislative dan eksekutif) akan banyak membantu kepentingan perempuan. Setidaknya, apapun kebijakan yang nantinya dikeluarkan, diharapkan lebih berkeadilan gender.
PDIP sebagaimana pemberitaan media local akhir-akhir ini berjanji mengakomodir perempuan dalam daftar calon legislative nanti. Bahkan bukan sekadar mengakomodir sebagaimana amanat UU Pemilu, namun kader perempuan PDIP akan dijadikan sitter. Golkar, parpol terbesar saat ini meski belum terang-terangan namun menunjukkan tanda-tanda keberpihakan terhadap kader perempuannya. Bagaimana dengan parpol lainnya. Diakui, dengan jumlah 34 parpol peserta pemilu saat ini, mencari figure perempuan yang berkualitas dan kapabel memang mengalami kendala. Namun, setidaknya political will dari partai untuk menyelami makna uu pemilu tersebut bisa digugah. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu pun diharapkan bisa menerjemahkan semangat dari undang-undang pemilu tersebut, sehingga meski undang-undang tersebut masih mengandung kelemahan karena kurang tegas mengatur tentang minimal keterwakilan perempuan, namun dengan semangat demokrasi memberangus ketimpangan antara dominasi laki-laki dan perempuan, KPU diharapkan mengambil sikap tegas menolak parpol yang tidak berprespektif gender. Menarik ditunggu September mendatang, saat parpol mengeluarkan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatifnya, bisa terlihat parpol mana saja yang tidak berprespektif gender. Memang tak ada sanksi hukum jika parpol tidak melaksanakan amanat undang-undang pemilu tersebut, namun masyarakat yang peduli terhadap masalah gender, layak memberikan sanksi moral dengan tidak memilih parpol dan caleg yang parpolnya tidak pro gender.
Kita harus berbangga punya seorang Angelina Sondakh di Senayan. Kehadirannya di gedung wakil rakyat terhormat itu bukan semata karena daya tarik fisik, bukan karena keselebritisannya, tetapi kita harus sepakat ada nilai intelektualitas dalam diri seorang Angie. Ketika Vanda Sarundajang, Tetty Paruntu dan kader-kader parpol perempuan lainnya diakomodir dalam pencalegan nanti, semoga bukan semata memenuhi amanat uu pemilu, bukan semata karena mereka punya nilai jual tinggi, tetapi mereka ada karena memang mereka patut masuk gedung wakil rakyat mewakili suara perempuan-perempuan di Nyiur Melambai ini untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Di sinilah letak relevansi dengan judul buku karya Nona Manado tersebut. Bukan saatnya kini, perempuan mengandalkan kecantikan dan keindahan fisik.
Kepada kaum perempuan Sulut, ruang telah dibuka. Saatnya untuk membuka diri dan meningkatkan kualitas diri. Sehingga, uu pemilu ini bukan dinilai sebagai sebuah hadiah bagi perempuan namun, karena memang layak diberikan kepada perempuan. (*)


Dipublikaskan di Tribun Sulut, 18 Juli 2008

UU Pemilu