28 Agu 2008


Lampu Kuning di Partai Merah   
Oleh: Arline JK Tandiapa

SATU adagium yang paling dikenal di ranah politik adalah tak ada kawan atau musuh abadi. Ketika kepentingan berbicara, itulah yang berlaku. Pelaku politik sejatinya paham benar dengan hal tersebut. Dunia politik memang tak ada warna yang baku, semua serba abu-abu.
Pun jelang Pemilu 2009 ini, konteks tersebut makin kentara. Tak lagi bermain di ruang abu-abu namun makin lama makin jelas bahkan cenderung terang benderang. Cegal menjegal menjadi sesuatu yang lazim di internal partai politik tatkala berbicara tentang nomor urut. Fenomena ini terlihat merata di semua parpol peserta pemilu. Namun, dari pengamatan empiris saya konflik internal partai yang paling panas datang dari partai yang dominan dengan warna merah yakni PDIP.
Berbagai gejolak di internal partai mencuat akhir-akhir ini. Terakhir, mundurnya sejumlah kader dari jajaran structural partai di Kota Manado dan lainnya dari proses pencalonan anggota legislative, menggoreskan tanya ada apa dengan moncong putih?
Semoga tak keliru, namun sepertinya ada kerancuan dalam pemberlakukan aturan main di tubuh PDIP, khususnya dalam penerapan system proporsional terbuka tapi terbatas ala PDIP. Skep 210 yang dikeluarkan DPP tentang tata cara penjaringan dan penentuan anggota legislative semestinya sudah jelas. Bahwa alat ukur penentuan bakal calon harus berdasarkan kompetensi dan profesionalisme. Namun, baik pengurus daerah dan provinsi harus melaporkan ke DPP guna memperoleh legitimasi terhadap draft penjaringan dan daftar calon yang telah disusun berdasarkan sejumlah indicator sebagaimana amanat skep 210 tersebut.
Di sinilah akar konflik muncul. DPP yang memiliki kewenangan mengesahkan daftar calon sementara sebelum disampaikan ke KPU, berpeluang mengutak-atik nama dan nomor yang sudah disusun dari daerah. Kondisi ini jelas membuka peluang besar terjadinya kolusi dan nepotisme bahkan indikasi permainan uang. Siapa yang mampu secara materi jelas bisa dengan mudahnya merapat ke pihak pengambil putusan. Siapa yang memiliki kedekatan dengan lingkaran elit bisa terjamin ambisinya terwujud. Hak prerogratif pengurus pusat, ketua partai dan elit pimpinan inilah yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan di tingkat pengurus daerah yang kemudian menjadi konflik internal partai. Sayangnya, pengurus daerah sepertinya tidak punya power atau memang tak berniat untuk ‘menginterupsi’ intervensi pusat. Mudah-mudahan kelemahan tersebut bukan karena adanya konspirasi. Padahal, jika memang daerah mau sedikit saja ‘membangkang’, mudah saja berargumen. Logikanya, yang paling tahu kondisi daerah adalah pengurus daerah. Yang paling tahu strategi apa yang harus dimainkan di tiap-tiap dapil adalah pengurus daerah.
Anomali lainnya yang memicu gejolak di partai kedua terbesar di Negara ini yakni adanya hak prerogratif dari pengurus provinsi dalam menempatkan figure dalam daftar pencalonan. Hak prerogratif yang dibungkus dengan label ‘penugasan partai’ dengan mudahnya mementahkan semua indicator penjaringan yang diperoleh langsung dari konstituen terbawah yakni rakyat. Skep 210 ternyata hanya merupakan alat bantu. Adalah sebuah pengecualian alasan penugasan partai diberlakukan berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi. (Misalnya, tak ada kader potensial atau minimnya kader di dapil tertentu termasuk affirmative action keterwakilan perempuan).
Wajar jika kemudian ada kader yang ‘cemburu’ melihat elit partai mengistimewakan pendatang baru apalagi yang berkategori oportunis. Karena pada akhirnya, kompetensi dan profesionalisme sebagai kader, pengurus dan pejuang partai menjadi sia-sia. Sumbangsih dan loyalitas kepada partai bukan menjadi ukuran penghargaan balik partai. Manusiawi memang jika kemudian ada kader yang kecewa, sakit hati, terluka yang saking marahnya memilih menanggalkan baju partai.
Konflik di internal partai sebenarnya hal yang biasa dalam dinamika politik. Persoalannya, jika gejolak tersebut tidak ditangani serius akan berimbas jauh terhadap citra partai itu sendiri. PDIP harus lebih berhati-hati dalam membungkus semua gejolak dan konflik di internal partai. Jika tak bisa menemukan formula yang pas dalam meredam setiap konflik internal, ini akan menjadi lampu kuning bagi citra partai ke depan. Jangan jumawa dengan berbagai survey nasional yang menomorsatukan. Jangan terlalu percaya diri bahwa moncong putih punya massa tradisional yang mengakar. Pemilih termasuk massa tradional sekarang mulai jeli dan melek politik. Mereka sudah bisa menyimpulkan setiap kebijakan partai saat ini nantinya apakah akan berpihak kepada mereka atau tidak. Wibawa partai harus bisa dijaga.
Dunia politik memang sarat dengan kepentingan. Ideal bagi kita belum tentu ideal dalam pandangan lembaga. Kita pantas ikut prihatin apa yang terjadi terhadap figure-figur yang merasa dikecewakan partai. Tetapi, tak adil pula jika partai satu-satunya yang harus dipersalahkan. Berpositif thinking bahwa bisa saja apa yang dirancang partai merupakan sebuah grand scenario untuk sebuah tujuan politik ke depan yakni genggaman kemenangan. Bahwa sebuah tujuan akhir dari setiap target politik memang membutuhkan pengorbanan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka pelaku politik harus bisa menerima apa putusan partai. Kekecewaan, sakit hati, terluka, tak dihargai bahkan dizolimi merupakan sebuah konsekuensi yang harus siap diterima tiap-tiap individu ketika memilih masuk di ranah politik. (meskipun jangan sampai larut dengan nasib). Kesempatan memang sudah ada. Sayangnya, di banyak situasi termasuk di dunia politik yang layak tak mendapat kesempatan sementara yang tak layak malah mudah mendapat kesempatan.
Sebuah sistim yang diciptakan di partai merupakan keterkaitan besar dari sebuah sistem menyeluruh di dalam proses pembelajaran politik dalam membangun sistem demokrasi negara kita yang sampai kini masih berada dalam tahap pencarian bentuk. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar