Potret Muram Generasi Pewaris
Oleh: Arline JK Tandiapaanak adalah sebuah awal kehidupan
awal kehidupan adalah warna masa depan anak
jangan sia-siakan awal ini
jangan sampai sesal itu terjadi kelak
saat warna suram terlanjur selimuti masa depan anak
(widodo j)
TAK ada gembar-gembor, tak ada kemeriahan, bahkan nyaris terlupakan. Begitulah suasana peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli baru lewat. Moment tersebut terlewat begitu saja, tenggelam di balik rutinitas dan egoisme para makhluk dewasa yang tak henti mengejar ambisi.
Tulisan ini tak bermaksud menggurui. Hanya ingin mengajak kita sedikit berefleksi merenungi sudah sejauh mana kepedulian dan kepekaan kita menyiapkan masa depan anak-anak kita, anak yang disebut tunas bangsa, generasi penerus dan tongkat estafet bangsa. Ataukah semua sebutan itu hanya menjadi sebutan tanpa makna, jargon semata.
Kita boleh berbangga, bahwa potensi anak-anak Sulut sangat menggembirakan. Angka kelulusan siswa-siswa di daerah ini tiap tahun terus memperlihatkan trend kenaikan. Prestasi di bidang pendidikan, kesehatan dan olahraga terus dicetak oleh anak-anak daerah ini sebagaimana ungkapan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sulut Ir Greety Sumayku. Kita melupakan masih banyak anak-anak di daerah ini yang tak seberuntung teman-teman mereka. Data Dinas Sosial Manado mengungkap fakta ada 496 anak yang berstatus pengangguran anak. Mereka hidup sebagai anak jalanan, pengemis dan anak cacat. Itu jumlah yang terdata. Masih banyak anak-anak serupa yang tersebar di 12 kabupaten/kota lainnya di Sulut. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, mengungkap lebih banyak. Di seluruh Indonesia terdapat 3.940.300 anak terlantar dengan usia di atas lima tahun. Dari jumlah itu terdapat 1.467.000 balita
Memiriskan, Sulut yang Indeks Pembangunan Manusia nomor 2 di Indonesia, ternyata masih menyimpan ratusan bahkan ribuan anak (0-18 tahun) yang tak bisa menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak. Di usia yang harusnya diisi mereka untuk investasi masa depan yang cerah, mereka sudah dipaksakan untuk mengenal kerasnya perjuangan hidup.
Pemerintah, masyarakat termasuk media, melupakan atau sengaja menutup mata bahwa faktanya ada ratusan anak di daerah ini yang bergelimang kemiskinan, menghabiskan hari-harinya di jalanan sebagai pengemis, pedagang asongan, pemulung (anak-anak sumompo) dan yang paling menyedihkan terpaksa menjadi wanita tuna susila akibat beban ekonomi atau korban trafficking.
Pemerintah sebenarnya harus bertanggungjawab terhadap buruknya kondisi anak-anak di daerah ini. Sebagai pemerintah yang memiliki kekuasaan, mereka sepantasnya dipersalahkan karena acapkali membuat kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat miskin. Sulut yang memiliki kekayaan alam luar biasa ternyata masih mengkoleksi 127.387 KK miskin sebagaimana paparan data BPS Sulut terhadap jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) penerima BLT 2008. Padahal kemiskinan menjadi factor utama penyebab hak-hak anak dirampas. Anak yang berasal dari keluarga miskin kerap mengalami subordinasi. Diejek, dihina dijauhi bahkan dikucilkan dari lingkungan sepermainan. Seorang anak pembantu juga kerap ikut diperlakukan layaknya ayah atau ibunya oleh keluarga majikan. Bangku sekolah kadang tinggal menjadi sebuah impian. Sungguh menyedihkan, hanya karena mereka miskin, hak mereka sebagai anak harus direnggut. ‘’Ada banyak orang yang tak beruntung di negeri ini’’ meminjam dialog Deddy Miswar dalam film Nagabonar 2, anak-anak ini termasuk dari orang-orang tak beruntung itu.
Karena itu, penganggaran yang lebih berpihak kepada pemberantasan kemiskinan harus lebih diperbanyak dan dimaksimalkan. Program-program social sebagai bentuk penguatan kepada keluarga-keluarga miskin harus lebih diintensifkan. Bantuan kesehatan gratis kepada keluarga miskin harus lebih fleksibel dan diatur tepat pada sasaran. Anggaran 20 persen pendidikan di APBD belum terpenuhi. Kalau pun kemudian terealisasi, tidak akan langsung menyentuh sasaran, karena anggaran itu akan ikut dinikmati secara merata seluruh anak. Program beasiswa dan SPP gratis lebih banyak diberikan atas dasar like or dislike, know or unknown alias KKN. Pemerintah pun harusnya melakukan intervensi terhadap sekolah-sekolah dan perguruan tinggi swasta dan negeri yang terlalu menganaktirikan anak-anak dari keluarga tak mampu. Bukti kalau setiap tahun ajaran baru, omzet pegadaian naik menunjukkan biaya pendidikan makin mahal sementara kemampuan ekonomi keluarga masih pas-pasan. Padahal, untuk menikmati pendidikan yang berkualitas di sekolah dan perguruan tinggi unggulan, bukan hanya milik anak-anak mampu tetapi semua anak memiliki hak yang sama dalam hal memperoleh pendidikan berkualitas. Terbatasnya dana yang kerap dilontarkan pemerintah adalah alasan klise menutupi sebenarnya sikap masa bodoh.
Namun tak adil jika pemerintah menjadi pihak satu-satunya yang harus bertanggungjawab terhadap kehidupan anak. Terkadang, sebagai orang tua kita terjebak pada egoisme pribadi menjadikan anak asset berharga, tumpuan keluarga di masa depan sehingga kita merasa berhak mengatur hidup mereka. Tak kita sadari, hak mereka sementara kita rampas. ‘’Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu, karena mereka mempunyai pemikiran sendiri,’’ (Kahlil Gibran-Puisi Tentang Anak)
Lingkungan dan keluarga pun berperan penting dalam memberikan contoh nyata dalam pembentukan kepribadian anak-anak sejak dini. Ibarat sketsa, contoh lingkungan sehari mereka akan terlukis lembar demi lembar mewarnai kehidupan mereka dan pada akhirnya membentuk utuh kepribadian mereka. Jika sketsa tersebut kemudian berwarna hitam, kelak negeri ini juga kelam. Karena apa yang akan terjadi 10-20 tahun mendatang, sangat ditentukan hari ini.
Coba pandang wajah polos anak-anak negeri yang tak beruntung ini. Biarkan empati berbicara di relung hati membuka indera kepedulian kita. Dan cobalah tatap mata anak-anak negeri yang tak beruntung ini, keceriaan mereka sesungguhnya hanya semu belaka karena mereka adalah potret muram para generasi pewaris yang dipajang dalam sebuah bingkai emas negeri yang berlimpah susu. (*)
Dipublikasikan di Tribun Sulut, 25 Juli 2008

Tidak ada komentar:
Posting Komentar