26 Agu 2008



Jalan Panjang Perempuan
di Remangnya Korupsi

Oleh: Arline Tandiapa

EPISODE tiga serial bertajuk MBH Gate sudah bergulir. Hingga kini, kasus yang diduga berindikasi korupsi karena merugikan daerah kurang lebih Rp11 miliar sudah menelan korban tiga orang. Dua mantan anggota Legislator Sulut dan satu warga sipil sudah ditahan. Kemungkinan besar akan diikuti person lainnya yang terkait dengan persoalan penyelesaian hutang hotel yang pernah menjadi kebanggan Sulut ini. Bagaimana ending dari MBH gate ini, kita tunggu saja. Ada hal menarik lainnya yang ingin saya gugah dalam tulisan ini berangkat dari contoh kasus MBH gate ini.
***
Mari kita berandai-andai. Jika 11 miliar dana penanggulangan MBH yang diduga bermasalah dan merugikan daerah itu dibelikan susu, akan berapa kaleng susu yang bisa dibeli untuk berapa anak dan balita yang kekurangan gizi. Tak perlu menggunakan hitungan yang matematis, namun logikanya dengan standart harga susu murah saat ini seharga Rp6000, maka 11 miliar dana MBH bisa membeli kurang lebih 1.835.000 kaleng susu. Dibagi untuk berapah anak dan balita? Sebagaimana paparan Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial saat peringatan Hari Anak Nasional 2008 23 Juli lalu, di seluruh Indonesia ada 1.467.000 balita yang masuk kategori terlantar dan kekurangan gizi. Untuk Sulut? Dipastikan, semua anak dan balita yang masuk kategori miskin, gizi buruk, busung lapar akan bisa menikmati susu gratis selama beberapa bulan ke depan. Hebat bukan! Atau andai saja 11 miliar tersebut digunakan untuk program pengentasan kemiskinan, mungkin jumlah pendudukan miskin di Sulut akan berkurang. Di Sulut sebagaimana data BPS, untuk tahun 2008 ada 127.387 Rumah Tangga Miskin (RTM) yang berhak menerima BLT. Selain MBH gate, ada banyak kasus penyimpangan keuangan daerah yang berindikasi korupsi di Sulut yang belum terungkap. Deposito gate, Blazer gate, Kasus Alat berat, tunjangan dana makan minum pegawai dan kasus mark up alokasi anggaran yang bersumber dari APBD, DAK dan dana dekon. Semua bernilai lebih dari sembilan digit angka nol. Sebuah angka yang fantastis bagi mayarakat ekonomi lemah kalau tak disebut miskin. Korupsi sebuah praktek yang selama berabad-abad pula menjadi momok di kehidupan manusia, tak banyak dilihat sebagai sesuatu yang sangat merugikan kaum perempuan. Bagaimana bisa? Korupsi tak selalu identik dengan mencuri karena ada banyak bentuk korupsi lain yang harusnya lebih diwaspadai oleh masyarakat dewasa ini yakni penyusunan anggaran public. Praktek korupsi sangat besar peluangnya terjadi di penyusunan APBN/APBD yang tidak memihak kepentingan public tetapi cenderung menguntungkan para decision maker. Anggaran public seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur erat hubungannya dengan perempuan. Angka kematian ibu melahirkan, gizi buruk, busung lapar, buta huruf, anak putus sekolah di daerah ini masih tinggi. Begitupun dengan angka kemiskinan belum menggembirakan. Sehingga perempuan yang miskin di tambah tingkat pendidikan yang rendah hanya bisa bekerja di sector informal. Korelasinya jelas, suburnya praktek korupsi menyebabkan kemiskinan yang dampaknya makin banyak pula perempuan yang menjadi korban. Potensi perempuan sebagai korban terbesar praktek korupsi dilihat dari populasi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Beberapa hal di atas merupakan dampak korupsi terhadap proses pemiskinan perempuan yang masih berlangsung sampai detik ini. Masih banyak dampak korupsi secara luas yang berkaitan dengan proses demokrasi.
Sayangnya, penanganan kasus korupsi hingga kini hanya terkosentrasi pada bagian tengahnya saja. Motivasi dari penanganan kasus-kasus korupsi hanya terbatas untuk pemberian sanksi (hukuman) kepada pelaku dan pengembalian asset. Sementara akar dan dampak terhadap praktek korupsi belum menjadi focus perhatian. Ironisnya, di negara ini termasuk Sulut, ada banyak lembaga social yang mengklaim diri bergerak di bidang anti korupsi. Sayangnya, misi, program serta strategi gerakan mereka hanya terbatas pada advokasi dan pressure untuk pemberian sanksi dan pengembalian kerugian, yang sebenarnya tugas tersebut sudah menjadi kewajiban dan misi dari pemerintah (KPK, Kejati, Kepolisian). Padahal sebagai lembaga/oragnisasi yang menyatakan anti korupsi sejatinya gerakan serta program harus lebih memfokuskan terhadap upaya preventif. Menganalisa sumber masalah serta dampak terhadap praktek korupsi, diharapkan bisa merumuskan program serta strategi untuk mencegah terjadinya praktek korupsi, minimal bisa mengeliminir.
Tak mudah memang. Ada saja hambatan yang membuat gerakan anti korupsi kurang memiliki power. Kurangnya sinergitas antar lembaga sejenis serta gerakan social lainnya amat mempengaruhi besar kecilnya keberhasilan gerakan. Faktanya, masing-masing lembaga social, berjalan sendiri-sendiri dengan egoisme nama lembaga, pengurus dan donor. Parahnya, ada lembaga yang hanya dijadikan alat untuk kepentingan individu pengurus apakah untuk mendongkrak ketenaran nama sebagai pimpinan organisasi atau untuk bargaining khusus dengan pelaku kejahatan korupsi. Gerakan perempuan pun, meski bergerak dengan kacamata perjuangan Hak Asasi Manusia, namun belum memasukkan isu korupsi sebagai program prioritas. Harus diakui isu korupsi jarang sekali dikaitkan dengan isu-isu perempuan. Isu anti korupsi masih dianggap wacana di tingkat elitis dan pegiat anti korupsi belum mampu menjelaskan bahwa korupsi akan berdampak langsung terhadap persoalan masyarakat secara riil termasuk didalamnya persoalan perempuan. Ini lebih disebabkan lemahnya pemahaman tentang mainstream gender oleh organisasi yang bergerak di anti korupsi. “Ibarat dua kereta api di lintasan yang sama, mereka searah dan sejajar tapi tak pernah ketemu,” ucap salah satu aktivis di sebuah lembaga kajian nasional.Sulit memang mencari rumusan untuk mensinergikan gerakan anti korupsi dan gerakan perempuan. Padahal jika dua kekuatan ini bisa disatukan meski praktik korupsi terjadi di keremangan dan kegelapan, diyakini mampu ditekan, hak-hak perempuan terpenuhi dan yang paling penting terciptanya clean and good governance yang dengan sendirinya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menguat. Jika kekuatan gerakan anti korupsi masih lemah, pemerintah sebagai pengambil keputusan diharapkan bisa lebih peduli dan peka terhadap pemenuhan hak-hak perempuan lewat penganggaran yang lebih responsive gender.
***
Lebih dari separuh dunia ini ditempati kaum perempuan, namun selama berabad-abad, perempuan terbelenggu dalam kungkungan kaum lelaki di hampir semua bidang. Angin perubahan berhembus di abad ini, dunia seni budaya, ekonomi, politik dan sciene tak lagi didominasi kaum maskulin. Sayang, kaum perempuan tak siap dengan kesempatan yang terbuka ini. Tak heran, hingga saat ini, eksistensi perempuan masih mengambang, tenggelam di balik bayang-bayang dominasi kaum laki-laki. Kepentingan perempuan hingga kini masih belum dianggap prioritas bahkan perempuan terus mengalami korban terhadap sejumlah kebijakan.
Namun, bukan berarti pesimis. Sebagaimana, perjuangan panjang perempuan di bidang politik yang sukses dengan affirmative action kuota 30 persen saat ini, perjuangan anti korupsi lewat alokasi penganggaran yang responsive gender memang pekerjaan rumah yang membutuhkan waktu dan energy. Untuk suatu perubahan yang baik, tak ada kata pesimis. Hidup adalah perjuangan, maka sejatinya, setiap elemen gerakan saling bersinergi, berbagi sumber daya, pikiran, ide bahkan materi untuk menghasilkan kekuatan besar demi kehidupan yang lebih baik. (*)


Dipublikasikan di Tribun Sulut 15 Agustus2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar