28 Agu 2008


Mari Bersahabat dengan Alam
Oleh: Arline JK Tandiapa

TAK ada bencana (alam) yang dampaknya tidak mengerikan. Kondisi itu juga yang kini melanda sejumlah wilayah di Sulut akibat terkena banjir dan tanah longsor. Dari sejumlah wilayah yang terkena bencana seperti Manado, Minahasa, Bolmong Selatan merupakan wilayah paling parah yang terkena dampak bencana ini.
Kerugian jiwa dan materil sudah pasti dialami ribuan warga Bolsel. Dampak lebih luas kemungkinan akan ikut dirasakan warga Sulut. Bisa jadi dalam beberapa pekan atau bulan ke depan, Sulut terancam kelangkaan beras yang berimbas pada melonjaknya harga beras. Ini akibat, kegagalan panen oleh petani di Bolsel akibat ratusan hektar sawah yang berubah menjadi danau akibat terendam banjir. Padahal, di Sulut Bolmong (termasuk Bolsel) merupakan lumbung beras.
Data terakhir yang dirilis Satkorlak Pemkab Bolmong menyatakan, kerugian akibat bencana banjir sudah mencapai 45 miliar. Ini sudah termasuk kerusakan infrastruktur, rumah penduduk yang hancur dan lahan pertanian yang hancur diterjang banjir. Pemprov Sulut sudah mengusulkan permintaan dana penanggulangan bencana kepada Pemerintah Pusat dan langsung direspon. Informasi, ada sekitar Rp 35 miliar siap dikucurkan Pemerintah Pusat untuk penanggulangan bencana di Bolsel tersebut yang akan dialokasikan untuk pembangunan kembali infrastruktur yang rusak, bantuan kepada warga yang rumahnya hancur dan ganti rugi lainnya.
Seperti itulah gambaran atau pola penanganan bencana yang selama ini dilakukan pemerintah. Miliaran rupiah terus-menerus dikucurkan untuk tahap rehabilitasi tersebut, dan setiap kali bencana itu datang miliaran dana yang sudah dikucurkan itu ikut hancur lebur menguap sia-sia disapu bencana. Dan lagi-lagi alam disalahkan. Ketika murka alam tak bisa dibendung, ketika korban berjatuhan, ketika kerugian mendera semua lini, semua sontak terbangun saling tuding, saling menggugat, pontang panting berteriak minta tolong bahkan rela mengemis minta dikasihani dan tak tabu mencaci tatkala erangan penderitaaan tak digubris. Semua tiba-tiba saja berubah rupa bak pahlawan kesiangan. Dan saat alam diam dalam kedamaian, manusia pun ikut menjadi bisu.
Harusnya, pola penanganan bencana mulai dirubah, bukan semata terfokus pada penyiapan dana bencana. Bukankah lebih baik, milyaran dana bencana yang dialokasikan, diperuntukkan untuk memperbaiki akar dari permasalahan.
Memang tindakan yang sangat manusiawi dan mutlak dilakukan ketika korban berjatuhan, ketika kerugian terlanjur mendera. Namun, sesungguhnya itu hanya menyelesaikan persoalan sementara saja. Karena bencana khususnya banjir dan longsor kini sudah menjadi tradisi terjadi setiap tahunnya melanda silih berganti wilayah di Sulut sehingga jika pola penanganan bencana terus dilakukan demikian, milyaran dana yang tersalur tahun-tahun sebelumnya menjadi sia-sia belaka.
Pemerintah dan masyarakat harus tanggap terhadap situasi seperti ini. Tindakan preventif harus segera dilakukan. Pembenahan lingkungan menjadi sesuatu yang urgen dilakukan. Penanganan kasus ileggal logging, eksploitasi sumber daya alam berlebihan, pembukaan hutan dengan alasan perluasan lahan pertanian, pertambangan, penataan tata ruang serta semua factor yang ada kaitannya dengan pelestarian lingkungan dan pencegahan bencana harus segera ditata, ditertibkan, ditegaskan bahkan wajib dilakukan.
Catatan rekan saya di Harian Posko kemarin setidaknya memiliki semangat yang sama dengan maksud tulisan ini. Bahwa metode penanganan bencana alam seperti yang dilakukan pemerintah sekarang sudah usang dan perlu diubah. Tanpa bermaksud mengesampingkan sisi manusiawinya, namun pola penanganan korban tidak perlu difokuskan dalam bentuk pemberian bantuan seperti supermi, pakaian bekas atau uang secara langsung kepada para korban.
Dana harusnya bukan menjadi penghalang menjalankan tugas maha mulia ini. JIka untuk menanggulangi bencana pemerintah tak segan mengeluarkan hingga milyaran rupiah, maka sewajarny pula jika untuk upaya pencegahan, rupiah tidak menjadi alasan. Setidaknya, upaya antisipatif akan meminimalisasi dampak ketika alam kembali mengamuk. Bukankah, pepatah kuno telah mengingatkan sedia payung sebelum hujan.
Karena berbeda dengan peristiwa alam (gempa, gunung meletus, tsunami, topan) yang cenderung tak bisa diprediksi karena di luar kuasa manusia, sebuah bencana alam seperti banjir dan longsor masih bisa diantisipasi, setidaknya diminimalisir. Bencana alam memang terjadi juga karena restu Sang Penguasa Alam Raya, namun fakta menyebutkan prosentase terbesar bencana banjir dan longsor lebih disebabkan karena ulah manusia.
Selain tindakan preventif, masyarakat perlu disadarkan tentang betapa pentingnya melestarikan lingkungan. Alam banyak memberikan nafkah kehidupan kepada makhluk yang bernama manusia, namun alam bisa murka jika manusia salah memanfaatkan. Kalimat bijak berkata pengalaman adalah guru terbaik. Dampak bencana alam selalu mengerikan, karena itu tak ada salahnya jika kita berdamai dengan alam. (*)
Dipublikasikan di Tribun Sulut, 1 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar