26 Agu 2008

Danau Tondano

Danau Tondano 
Menuju Legenda Kedua
Oleh: Arline Tandiapa

MALAM perlahan merambat suatu hari pekan lalu, saya terlibat diskusi dengan seorang teman. Fokus pembicaraan terarah kepada sebuah sosok yang akhir-akhir ini sepertinya menjadi single fighter di ranah Minahasa, karena komitment dan kerja kerasnya membasmi eceng gondok yang perlahan namun pasti ‘membunuh’ keberadaan Danau Tondano.
Drs Stevanus Vreeke Runtu yang kini beken dengan sebutan SVR memang sedang gencar-gencarnya membasmi keberadaan eceng gondok yang makin menguasai danau. Rasa salut pantas dilayangkan kepadanya. Perkiraan jika, konsep pelestarian Danau Tondano hanya menjadi bahan jualan Pilkada Minahasa akhir tahun lalu ketika Runtu menjadi salah satu kandidatnya, ternyata meleset. Beberapa bulan telah berlalu setelah dia dilantik bupati, rencana besarnya untuk membuat Danau Tondano bersih dari ancaman eceng gondok tetap terpatri di dirinya. Bahkan Agustus mendatang, Runtu berjanji danau tersebut bersih dari tanaman liar tersebut.
Danau Tondano yang memiliki luas 4.278 hektar ini menjadi sumber hayati bagi seluruh warga Minahasa dan sekitar. Sebagian besar warga menggantungkan kelangsungan hidup mereka pada danau ini. Bahkan sepanjang DAS Danau Tondano yang mengairi hingga bermuara di Teluk Manado, turut memberikan manfaat bagi warga di seputar DAS. Perusahaan listrik negara pun bahkan bergantung banyak pada kestabilan aliran debit sungai Danau Tondano guna menjaga pasokan daya listrik di wilayah Sulut terutama Manado, Minahasa dan Bitung. Sebagai danau terbesar di Sulut, Danau Tondano menjadi landmarknya atau ikon pariwisata di Sulawesi dan Minahasa khususnya.
Jika kita sepakat terhadap betapa pentingnya keberadaan Danau Tondano, kenapa kita hanya membiarkan diri berpangku tangan menjadi penonton melihat sepak terjang dan usaha keras dari Vreeke Runtu menyelamatkan Danau Tondano. Harusnya, Danau Tondano bukan hanya menjadi beban seorang Bupati Minahasa atau segelintir kelompok peduli lingkungan melainkan juga harus menjadi komitment bersama warga Minahasa dan Sulut. Bukan sekadar tanggungjawab Pemerintah Minahasa, tetapi juga semua kepala daerah, kepala pemerintah dan masyarakat di Sulut. Sebuah realitas yang belum terlihat saat ini. Apalagi, kekritisan Danau Tondano bukan semata hanya disebabkan tumbuhan gulma seperti eceng gondok. Faktor kerusakan lingkungan di sekitar danau menambah laju kekritisan danau, sehingga membutuhkan penanganan terpadu dari semua komponen.
Danau ini konon terjadi karena letusan dahsyat berawal dari kisah sepasang kekasih yang melanggar larangan orang tua untuk kawin dengan nekat lari di hutan yang bergunung kembar. Akibat melanggar larangan orang tua maka meletuslah kembaran gunung kaweng tersebut sehingga menjadi danau Tondano. Setidaknya itulah legenda tentang asal mula terjadinya Danau Tondano yang diyakini warga Minahasa hingga kini.
Kurangnya kepedulian terhadap kelestarian Danau Tondano tak kita sadari mendorong Danau Tondano menuju pada kepunahan. Sebuah penelitian mengungkap fakta mengerikan, tiap tahun Danau Tondano terjadi pendangkalan 35 cm, yang dalam perhitungan dengan laju pendangkalan tersebut, diperkirakan tahun 2047 Danau Tondano akan hilang dari peta wilayah Minahasa dan Sulut.
Tegakah, kita melihat danau yang menjadi sumber hajat hidup warga Minahasa dan sekitar bahkan landmarknya Tanah Toar Lumimuut ini berubah mengerikan menjadi hamparan padang gurun nan tandus. Jika itu terjadi, Danau Tondano akan melahirkan legenda kedua di Minahasa. Relakah kita? (*)

Dipublikasikan di Tribun Sulut, 11 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar