9 Okt 2010

Pekan untuk
Duo Harry      
 
Oleh: Arline JK Tandiapa
 
ADA dua peristiwa penting yang terjadi pekan ini. Peristiwa pertama adalah pelantikan Sinyo H Sarundajang-Djouhari Kansil sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada Senin 20 September lalu. Peristiwa kedua terjadi sehari kemudian Selasa 21 September ketika Kejaksaan Tinggi Sulut mengeksekusi Mantan Wakil Gubernur Sulut Freddy H Sualang ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tuminting.

Freddy Sualang tegar sesaat sebelum masuk LP Tuminting
Dua peristiwa yang kontras ini, cukup menyita perhatian publik Sulut. Kedua momen tersebut diblow up habis-habisan seluruh media di Sulut. Fakta menarik di balik dua peristiwa tersebut adalah moment lima tahun silam manakala Mendagri saat itu M Ma’aruf melantik pasangan Sinyo Harry Sarundajang dan Freddy Harry Sualang sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulut periode 2005-2010. Duo ‘Harry-Harry’ kala itu menjadi magnet bagi warga Nyiur Melambai, karena keduanya terpilih sebagai pemimpin sulut dalam sebuah pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang untuk pertamakali digelar. Tak heran, pengambilan sumpah dan pelantikan Sarundajang-Sualang yang dilaksanakan secara sederhana di Ruang Mapalus Kantor Gubernur 13 Agustus 2005 dihadiri oleh ribuan masyarakat dari seantero Sulawesi Utara.
Saya pribadi yang ikut hadir menyaksikan moment bersejarah itu, bisa menyaksikan bagaimana animo masyarakat menyaksikan pelantikan tersebut. Mereka tak peduli meski hanya menyaksikan lewat layar monitor yang disiapkan panitia di luar ruangan Aula Mapalus pun harus berdesak-desakan. Mata mereka setia mengamati monitor menyaksikan detik-detik pemimpin yang mereka pilih langsung resmi menyandang status gubernur dan wakil gubernur. Sejauh ingatan saya, sepanjang ruas jalan 17 Agustus  padat oleh parkiran kendaraan. Sebagian besar kendaraan-kendaraan itu justru datang dari luar kota Manado. Mereka, warga Sulut yang datang dari berbagai wilayah di Sulut itu bukan saja menikmati moment tersebut namun ikut labur mengklaim bahwa ini adalah perayaan kemenangan rakyat.
Namun, kenangan indah itu tak bertahan lama. Pertengahan Agutus 2009, Sualang harus dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur Sulut terkait dengan statusnya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi MBH yang ditangani Pengadilan Negeri Manado sejak tahun 2003. Meski, oleh PN Manado Sualang (dan Abdi Buchari) diputus bebas murni, namun kasasi di tingkat MA yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sulut menghasilkan putusan berbeda. Sualang harus menjalani masa tahanan dua tahun. Perjalanan MBH-gate yang panjang, melelahkan dan menguras tenaga, pikiran dan materi itu mencapai puncaknya pada 21 September lalu, ketika Sualang yang meski kondisi fisiknya secara medis sedang sakit parah, ikhlas menjalani putusan tersebut. Sualang, yang saking letihnya terus berpolemik dengan masalah ini, merelakan dirinya menyandang status napi demi tuntasnya kasus ini. Meski tetap mencoba tegar, Sualang hanyalah sebuah pribadi biasa, manusia yang lemah. Di depan pintu LP Tuminting, ketika memeluk satu persatu kader partai dan pengikutnya yang setia mendampinginya, airmata Sualang tumpah. Bahwa di tengah pergumulannya, masih banyak orang yang peduli dan mau berempati. 
Sinyo Harry Sarundajang
 Suasana bertolak belakang berlangsung sehari sebelumnya. Berlangsung di Grand Kawanua Internasional City, gedung berstandart Internasional, disaksikan ribuan undangan sekelas menteri, gubernur sejumlah propinsi serta petinggi parpol dan pejabat seantero Sulut dan luar daerah, Sarundajang berdiri dengan gagahnya ketika Mendagri Fauzi Gamawan mengambil sumpah dan melantiknya sebagai Gubernur Sulut ke-14  didampingi Djouhari Kansil sebagai wagub. Kemegahan dan kemeriahan belum berhenti sampai di situ, malamnya di tempat yang sama digelar pesta resepsi juga dengan para undangan yang sengaja ‘dipilih’. Pantas saja, baik pemprov, KPU dan deprov enggan terbuka dengan budget yang disediakan untuk kesuksesan acara tersebut.
Ironis. Karena pilkada dimana rakyat yang terlibat langsung memilih siapa pemimpin yang dikehendakinya, tak mendapat kesempatan ikut menikmati. Nuansa pelantikan pemimpin rakyat berubah menjadi pestanya kaum elit bukan lagi pesta rakyat. Saya tak bisa menebak apa isi pikiran dari Mendagri Gamawan Fauzi ketika menyaksikan pelantikan SHS-DK tersebut. Apakah dia sempat membandingkan moment pelantikan Marlis Rahman yang menggantikan dirinya sebagai Gubernur Sumbar awal Desember 2009 lalu pasca dirinya dipercayakan SBY sebagai Mendagri. Marlis Rahman yang sebelumnya wakil gubernur dilantik menjadi gubernur secara sederhana. Gamawan yang sendiri melantik Rahman pasti ingat kalau pelantikan kala itu hanya dilakukan di bekas garasi mobil DPRD Sumbar. “Meski hanya dilakukan di ruang yang dulunya garasi mobil, tapi suasananya tetap khidmat dan nyaman. Fasilitas ruangan cukup memadai,” ungkap Nasral Anas Sekwan Dekab Sumbar.
Disayangkan. Karena di tengah banyak keprihatinan yang terjadi, kepekaan justru menumpul. Tak perlu menggugat. Tak usah juga dipersoalkan. Baik Sualang maupun Sarundajang hanya pribadi biasa. Sebagai manusia, Sualang juga tak luput dari kesalahan. Menjalani dua tahun sebagai seorang tahanan dengan kesehatan yang makin rapuh, Sualang sudah menebusnya. Rekam jejak Sualang jelas menulis ada banyak jasa dan kebaikan yang sudah ditorehkan dalam proses pembangunan Sulut. Sebagaimana sebuah kalimat "Ingat kebaikan orang lain pada kita. Ingatlah kesalahan kita pada orang lain. Tapi lupakan kebaikan kita pada orang lain. Lupakan kesalahan orang lain pada kita"
Di moment Ulang Tahun Sulut ke 46 ini juga, sepatutnya menjadi refleksi bersama. Saatnya untuk menanggalkan segala perbedaan. Kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Peristiwa 20 September semoga menjadi motivasi baru bagi SHS-DK bahwa kemegahan pesta itu cukup sehari saja. Lima tahun ke depan, hari-hari mereka akan diisi dengan pengabdian kepada rakyat Sulut sebagai bayaran telah mempercayakan mereka sebagai pemimpin Rakyat Sulut. Sebagaimana sebuah testimony Soekarno, ”Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” (*)

Dimuat di Harian Radar Manado 25 September 2010 

19 Sep 2010

Kalimat bijak berkata:

''Kata-kata tidak mengenal waktu. 
Kamu harus mengucapkannya atau menuliskannya 
dengan menyadari akan keabadiannya''

Met Bergabung di blog saya..


17 Sep 2010

Kandidat Walikota-Wakil Walikota Manado
 
Demokrasi yang Tergugat 

Oleh: Arline JK Tandiapa


’Saya pasti akan ikut PSU. Karena kalau tidak saya akan kena denda. Tapi PSU harus berjalan tanpa ada kecurangan. Kalau tidak saya akan melakukan gugatan’’


Statement itu disampaikan salah satu kandidat Pilwako Manado yang dilansir salah satu media cetak, terkait dengan pemungutan suara ulang Pilwako Manado. Memang, pasca dikabulkannya sebagian gugatan pemohon oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gelaran pemilukada di Sulut khususnya di Manado, Minut dan Tomohon memasuki babak baru. Intinya, MK membatalkan hasil pemilukada 3 Agustus di Manado, Minut dan Tomohon dan menginstruksikan menggelar PSU di seluruh TPS se-Kota Manado, PSU di Kecamatan Wori Minut, PSU di Kelurahan Wailan Tomohon dan Penghitungan Ulang seluruh kotak suara se-Kota Tomohon.
Pasca putusan itu, pro kontra langsung menyeruak, disambut beragam pendapat dan penilaian seluruh eleman masyarakat di Sulut khususnya di tiga daerah yang memiliki hajatan pilkada. Semua punya pendapat masing-masing mulai dari tim sukses para kandidat, politisi, pengamat, aktivis hingga warga biasa pun tak mau ketinggalan mengomentari putusan MK tersebut. Ada yang berpendapat putusan MK tersebut adalah bagian dari keadilan demokrasi. Sebagian lagi merasa tak puas, menilai putusan MK itu tak sesuai substansi gugatan. Rupa-rupa pendapat mengkritisi lembaga tertinggi penegak aturan perundang-undangan tersebut. Pokoknya, kontroversi seputar amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap hasil pemilukada 3 Agustus di Manado, Minut dan Tomohon masih terus bergulir hingga pekan ini.
Tulisan ini bukan maksud untuk menghakimi pendapat para pakar dan pengamat hukum, bukan pula mengkritisi analisis politisi dan pengamat politik. Karena sebagai bukan seorang yang memiliki latar belakang ilmu hukum dan politik, saya tak memiliki kompetensi mengomentari. Pertanyaan inti dalam pikiran saya ketika menulis ini adalah apa dan kenapa 6 pesta demokrasi di Sulut 3 Agustus lalu, semuanya berbuntut gugatan ke MK.
Sekadar mereview, sejak dibukanya kran pemilihan langsung, Sulut telah melangsungkan sejumlah hajatan pilkada langsung. Dimulai lima tahun lalu atau Tahun 2005 di Sulut, Manado, Tomohon, Minsel, Minut dan Bitung. Diikuti Pilkada di Bolmong dan Sangihe Tahun 2006, Pilkada di Minahasa Tahun 2007 dan terakhir Pilwako KK tahun 2008. Semuanya berjalan dengan baik, lancar dan sukses. Benar ada beberapa gugatan, namun tak meruncing. Riak-riak yang terjadi kala gelaran pilkada tersebut digelar dinilai sesuatu yang wajar sebagai bagian dari dinamika politik.
Karena itu, sangat mengherankan 6 pilkada di Sulut tahun ini harus berbuntut gugatan ke MK. Tiga diantaranya bahkan putusan sela yang amar putusannya menjadi persoalan baru yang saat ini tengah pusing dihadapi banyak pihak. Bagi kandidat yang gugatannya dikabulkan MK, sudah pasti PSU disambut sukacita disertai optimis baru untuk bisa merebut kemenangan. Mungkin bagi kandidat lain yang mengakui kekalahan, PSU akan ditanggapi biasa saja bahkan cenderung masa bodoh lagi. Tak ingin didenda, ikut tapi tak bekerja (baca: mengeluarkan cost politik lagi). Tapi bagi kandidat yang sudah menang ketika pemilukada 3 Agustus, PSU menjadi semacam ‘bad dream’. Tak ada ketenangan, tak bisa tidur nyenyak, cemas, khawatir pasti melanda selama masa-masa penantian dilaksanakannya PSU. Harga diri, kehormatan, jabatan yang sudah digenggam harus dilepas sementara untuk dipertaruhkan kembali.
KPU sebagai lembaga penyelenggara pun sama pusingnya. Mengulang pekerjaan yang sudah tuntas dikerjakan akan sangat melelahkan. Bahkan menguras tenaga dua kali lipat dari pekerjaan pertama. Belum lagi, diperhadapkan dengan persoalan dana yang menjadi factor penentu sekaligus kesuksesan jalannya PSU. Lembaga ini juga menghadapi berbagai macam sorotan, kritik, tuntutan dari banyak pihak yang mempertanyakan kesiapan, kredibilitas hingga kenetralan mereka sebagai insitusi penyelenggara.
Ketua KPU Sulut Livie Allow

Pada akhirnya rakyatlah yang paling dirugikan. Waktu, tenaga, suara hak pilih yang sudah disalurkan 3 Agustus menjadi sia-sia. Demokrasi di mana kedaulatan rakyat di atas segalanya menjadi absurd, kabur bahkan tak bermakna. PSU pada akhirnya melahirkan sejumlah dampak persoalan yang kompleks. Miliaran uang rakyat harus terbuang percuma.
Ketika, MK mengeluarkan amar putusannya, semua ramai–ramai menghakimi lembaga ini. Padahal, sesungguhnya 6 pemilukada di Sulut tak akan bermuara di MK kalau sedari awalnya, peletakan fondasinya baik dan pada proporsinya. Karena itu, tak salah jika salah satu kandidat mengeluarkan peringatan keras terhadap pelaksanaan PSU nanti. Bisa dibayangkan bagaimana pelik dan melelahkannya Pilwako Manado yang terus diperhadapkan dengan gugatan. Seandainya, diatas MK ada lembaga tertinggi lainnya, mungkin saja kandidat yang menjadi termohon sudah melakukan banding. Dan rakyat akan dipaksa terus bersabar menanti siapa pemimpin definitive lima tahun mendatang.
Pemilukada sudah dilakukan, gugatan sudah terjadi, MK sudah mengeluarkan amar putusannya, PSU sudah diintruksikan. Tak banyak manfaat terjebak dalam kontroversi putusan itu. Sekiranya semua pihak sama-sama mengarifi kemudian menjalankan dan mengawalnya dengan baik supaya tak terjadi lagi gugatan di atas gugatan yang hanya akan menguras waktu, tenaga dan uang dengan sia-sia. Pemilihan langsung sebagai aplikasi demokrasi harus tergugat. Sangat tak bijaksana jika rakyat menjadi korban atas kepentingan dan keegoisan para elit politik.
Namun, sebagai catatan akhir, jika badai ini sudah berlalu, pertanyaan siapa yang harusnya bertanggung jawab terhadap semua kekisruhan ini, pantas ditelusuri. Ada banyak pengorbanan dan kerugian yang terjadi karena amburadulnya pelaksanaan pemilukada. Akar persoalan harus ditemukan dan dicari penyelesaiannya. Ini penting untuk pembelajaran politik, pembenahan sistim demokrasi dan untuk mencegah terciptanya kembali ‘dosa-dosa’ politik. (*)

Dimuat di Harian Radar Manado 17 September 2010 

10 Sep 2010

potret kemiskinan

MDGs dan Perempuan

KEMISKINAN, pendidikan, kesetaraan gender, menekan angka kematian bayi, kesehatan ibu, pencegahan HIV/AIDS dan lingkungan hidup merupakan tujuh dari delapan poin mencapai Millenium Development Goals (MDGs) yang pada tahun 2015 akan berakhir (dievaluasi pencapaiaannya). Pemerintah Indonesia sendiri mendukung penuh target MDGS tersebut sejak dicanangkan 2000 lalu. Lantas bagaimana dengan Sulut sendiri. Sudahkah target MDGs tersebut berjalan on the track dan sejauh mana legislator perempuan mengawal program MDGs tersebut mengingat 7 poin MDGs tersebut terkait erat dengan kepentingan perempuan. Sulit mengukur keberhasilan MDGs di Sulut hingga saat ini. Hal pertama,  minimnya pengetahuan dari pemangku kebijakan apakah eksekutif maupun legislative tentang MDGs itu. Ada yang paham namun tak memiliki perspektif gender. Belum lagi kontroversi data di antara sesama lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga social. Beberapa SKPD di Sulut mengklaim angka keberhasilan dari program mereka lebih tinggi dibanding angka nasional. Klaim tersebut oleh sejumlah stakeholder seperti kalangan akademisi dan lembaga-lembaga social bukan menjadi tolok ukur, karena sesungguhnya semua program di daerah parameter keberhasilan atau pencapaian harus dibandingkan dengan permasalahan yang ada di daerah pula. Swara Parangpuan (Swapa) lembaga social yang gencar melakukan advokasi dan kampanye tentang keberpihakan terhadap perempuan ikut tertarik mendalami sejauh mana target MDGs di Sulut sudah berjalan termasuk bagaimana peran legislator perempuan mengawal program MDGs. Ada beberapa wilayah kabupaten kota di Sulut yang akan menjadi target Swapa untuk melakukan penguatan kapasitas kepada legislator perempuan untuk nantinya dalam proses pengambilan kebijakan bisa menghasilkan kebijakan yang pro kemiskinan termasuk pro perempuan hal mana ikut menjadi target MDGs. “Kami berharap program kami ini bisa diterima terutama kepada lembaga-lembaga legislative dan eksekutif di Sulut. Intinya, kami ingin membantu pemerintah mewujudkan target MDGs bukan karena ini menjadi komitement internasional dimana Indonesia terlibat tetapi karena MDGs terkait erat dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat,” kata Direktur Umum Swapa Lilly Djenaan didampingi Direktur Eksekutif Vivi George. "Kondisi daerah, birokrasi, kepentingan politik, kualitas anggota DPR perempuan dan perilaku pemangku kebijakan di Sulut bisa menjadi factor penghambat dalam program ini.  Butuh kerja keras termasuk sinergitas yang kuat antar semua stakeholder apakah pemerintah, legislator, akademisi dan lembaga social termasuk melakukan pendekatan khusus terhadap partai politik selaku pemegang mandat politik bagi anggota-anggota di DPR. Penting melakukan pendekatan kepada partai politik terutama menseragamkan pemahaman tentang target MDGs. Keseragamaman pemahaman tersebut nantinya diharapkan akan menularkan kepada perwakilannya di DPR agar menghasilkan keputusan yang lebih perspektif gender. Selain itu, sangat penting mengintegrasikan perspektif jender dalam semua program pembangunan berskala besar. Yang terutama pengarusutamaan gender harus berjalan serius sehingga memastikan setiap kebijakan memuat perencanaan dan penyediaan anggaran yang mempromosikan, melindungi, dan memberdayakan perempuan. Atas hal ini, perspektif gender diharapkan ada pula pada pihak eksekutif.  Dengan demikian, ketika target MDGs yang berwajah perempuan tersebut dievaluasi di tahun depan, semua pihak bisa sepakat bahwa MDGs di Sulut sudah on the track. (*)

mdgs 

TOF, Ide Brilian yang Tergesa-gesa
Vira dan Vincent nonton ToF 2010


KEBISINGAN di luar kamar membangunkan saya pagi Jumat 23 Juli 2010. Dengan mata yang masih mengantuk saya melirik jam mungil yang bertengger di atas meja kamar. Hmm..jarum pendeknya belum lagi berada di angka 7. Saya kembali memejamkan mata tapi indera telinga saya dipertajam mencari tahu kenapa sepagi ini seisi rumah sudah terdengar begitu sibuknya. Belum lagi bisa paham benar dengan situasi di luar, tiba-tiba pintu kamar saya dibuka (saya terbiasa tidak mengunci kamar ketika tidur malam harinya), anak saya Javira berusia 2,7 tahun dengan cepat masuk langsung naik ke atas tempat tidur memegang kedua pipi saya dan dengan suara yang nyaring dari bibir mungilnya, dia berucap, ”Mama-mama bangon jo, tol(r)ang pigi bauni pawai”.
Singkatnya, tepat Pukul 10.00 pagi itu, saya, anak saya, Katrin ipar saya plus dua ponakan saya Vincent dan Vasco berdiri berjejer di depan Cool Supermarket menonton parade kendaraan yang dihias dengan berbagai macam bunga. Puluhan kendaraan peserta pawai menampilkan float dengan ciri khas atau landmark daerah mereka masing-masing termasuk enam peserta luar negeri ikut menampilkan profil khas Negara mereka. Kurang lebih dua jam kami menonton. Tengah hari, karena anak saya dan dua ponakan saya mulai mengeluh kelelahan pun melihat langit yang mulai mendung, saya dan Katrin pun memutuskan untuk pulang rumah meski pawai belum usai.
***
Pawai kendaraan bunga hias 23 Juli itu adalah puncak dari pelaksanaan ivent Tomohon Flower Festival (TFF) dimana di dalamnya terdapat Tournament of Flower (ToF). ToF inilah yang dengan antusias ditunggu anak dan ponakan2 saya untuk ditonton.
Tulisan ini tak ada interest apa-apa, sama sekali tak bermaksud politis apalagi dikaitkan dengan sikap dan pandangan politik saya. Pasti ada pembaca yang berpikir apa hubungannya ToF dengan politik. ToF pertama kali digelar Tahun 2008 lalu. Sebagian besar warga Tomohon tahu jika ToF yang diprakarasai Walikota Jefferson SM Rumajar (JSMR) yang juga Ketua Golkar Tomohon saat ini kurang mendapat dukungan dari parpol lain seperti Partai Demokrat dan PDIP. Apalagi, pada saat itu hubungan antara Epe panggilan Walikota JSM Rumajar dengan Wakilnya Lineke Syennie Watoelangkow (LSW) yang juga Ketua Partai Demokrat Sulut tidak harmonis lagi. Kebetulan (atau sudah diseting), ToF kedua 23 Juli 2010 ini malahan digelar bertepatan dengan agenda Pilwako Kota Tomohon. Pekan dimana ToF sedang berlangsung, Pilwako Tomohon sementara melangsungkan tahapan kampanye. Situasi politik di Kota Tomohon bisa disebut sedang membara-baranya. Maklum, Epe saat itu juga berstatus incumbent karena oleh Golkar diusung kembali sebagai calon walikota 2010-2015. Sementara, Partai Demokrat di pilwako kali ini sepakat berkoalisi dengan PDI Perjuangan dengan mengusung Syennie sebagai calon walikota. Epe-Syennie padahal 2005 lalu dipilih langsung rakyat Tomohon sebagai walikota dan wakil walikota tapi di 2010 ini memilih berpisah. Pertarungan dua tokoh ini lah yang kemudian menyeret ToF dijadikan komoditi politik oleh dua kubu tersebut.
Saya tak berniat mengulas soal perseturuan politik Epe dan Syennie atau antara tiga parpol (PG, PD, PDIP) ini. Namun, kenapa saya terpaksa menyentil soal ini, karena bagi yang mengenal saya bisa saja langsung under estimate membaca pandangan saya soal pelaksanaan ToF kali ini. “Ah, sudah pasti dia bilang ToF mengecewakan. Kan dia pendukung si anu…Kan dia partai anu..’’
Saya sangat paham jika ada yang berpikir seperti itu atau menilai saya dengan kacamata politik. Bagi saya itulah dinamika. Namun, apa yang saya ungkapkan di tulisan ini murni memposisikan diri sebagai warga Tomohon berdasarkan pengamatan didorong naluri jurnalistik saya.
Tanpa maksud menyinggung siapapun, saya terpaksa mengatakan jika TOF kali ini jauh dari sukses. Ketika pagi itu saya dibangunkan anak saya untuk diajak nonton ToF, saya tertular antusiasme anak dan ponakan-ponakan saya untuk tak ketinggalan menonton ToF yang sudah sebulan terakhir gencar digembar-gemborkan bakal spektakuler. Sayang..dua jam lebih saya menonton saya harus jujur mengatakan ToF 2010 ini mengecewakan. Lebih dari itu, sebagai warga Tomohon, saya malah merasa malu ketika menonton. Mungkin kalau tidak menonton langsung, rasa malu dan kekecewaan saya tidak seberapa. Saat menonton, mata saya liar mengamati sekeliling mencari warga yang menujukkan tanda-tanda sebagai pendatang. Saya ingin tahu, apa pendapatnya setelah menonton ToF. Sayang, beberapa meter dalam jarak pandang saya, tak ada tanda-tanda kehadiran warga pendatang.
Vira dan Mama
Saya memang bukan panitia bukan pula event organizer (eo) yang tahu persis teknis pelaksanaan ToF kali ini. Tapi sepertinya, baik panitia maupun EO (ditenderkan) tidak siap. Logikanya, karena ToF Juli 2010 dianggarakan di APBD 2010 dan APBD 2010 ditetapkan akhir 2009, harusnya sejak itu, persiapan pelaksanaan ToF sudah dimulai. Mungkin saya keliru, tapi sampai dua bulan jelang ToF, tanda-tanda jika di Tomohon akan digelar event internasional belum terlihat. Tender siapa EO yang berhak mengatur event ini pun baru diumumkan antara April-Mei. Praktis, waktu dua bulan tak cukup bagi EO seprofesional apapun untuk mengemas event yang ditetapkan bertaraf internasional. Pihak Kementrian Pariwisata dan Budaya yang sudah memback-up event ini pun tidak terlalu memberi pengaruh besar dalan hasil akhir pelaksanaan ToF.
Ketika Juli tiba, saya yang tiap hari harus bolak balik Tomohon-Manado selalu bertanya dalam hati. Mana ornament-ornamen penunjang yang menunjukkan kalau di Kota Tomohon nanti pada 19-24 Juli nanti akan ada event bertaraf internasional yang akan digelar. Pekan ketika TFF dimulai, perbatasan Manado-Tomohon hanya ada satu baliho ucapan selamat datang kepada peserta TFF. Di sepanjang jalur Manado-Tomohon hanya dipasang arcus (warundak) di sisi kiri dan kanan di setiap beberapa meter. Masuk Kota Tomohon pun sama biasanya. Selain, beberapa baliho dari pemerintah tak ada lagi ornament penyemarak TFF/ToF. Beberapa kali saya sempat nyeletuk dalam hati, “Rupanya cuma pemerintah yang semangat menyambut ToF, masyarakat tidak,’’. Bandingkan jelang 17an Agustus, masyarakat tanpa diperintah pun mengecat pagar rumah dan bersih-bersih. Kalau jelang paskah atau natalan sepanjang jalan hingga lorong-lorong dipenuhi lampion beraneka bentuk dan warna. Padahal ToF event bertaraf internasional dan di Indonesia, hanya beberapa daerah saja yang bisa melaksanakan.
Hasil puncak terlihat pada 23 Juli. Feeling saya, jika masyarakat tak lagi antusias menyambut ToF sedikit terbukti. ToF pertama kali 2008, kegairahannya sangat terlihat sejak awal ide ini diluncurkan Epe. Masyarakat khusususnya petani bunga bersemangat menanam, merawat bunga hias supaya nantinya bisa dipakai (dibeli) peserta ToF. Publikasi pun gencar dan terekspose baik. Kota Tomohon pun semarak. ToF 2008 bagi saya sangat sukses. Kota Tomohon makin dikenal dan menasional. Sangat disayangkan, meski sukses, ToF 2008 menyisakan kekecewaan kepada beberapa petani bunga di Tomohon karena bunga mereka tak terpakai sehingga menderita kerugian.
Trauma itu mungkin yang membuat masyarakat khususnya petani bunga di Tomohon tak bergairah lagi menyambut ToF 2010. Pemerintah, panitia dan EO pun sepertinya kurang memperhitungkan hal ini. Hasilnya, sebagian besar float peserta ToF terpaksa dihias seadanya karena kekurangan bunga sebagai bahan baku utama. Daun, biji-bijian menjadi bahan alternatif menghias float. Itulah kenapa saya berani mengatakan malu dengan hasil pelaksanaan ToF tahun ini. Harusnya yang malu bukan saya saja, atau warga Tomohon yang punya pengamatan serupa. Tapi secara keseluruhan Kota Tomohon baik pemerintah dan masyarakatnya harus malu. Masakan pawai kendaraan bunga tapi hiasannya daun, biji-bijian atau 80 persennya cuma streofoam bahkan ada float yang terpaksa hanya dicat karena tak ada lagi bahan baku. Inikah Kota Tomohon yang ditahbiskan sebagai Kota Bunga? Dengan alokasi anggaran Rp8 miliar dalam APBD, ToF 2010 ini mengecewakan. Apalagi,ini sudah pelaksanaan kedua kali sehingga pengalaman tak baik saat pelaksanaan pertama kali harusnya sudah dijadikan pelajaran. Memang, ada beberapa factor yang membuat ToF kali ini tak sesukses 2008 lalu. Namun, saya tak ingin membahas di sini. Saya komit dengan pernyataan sebelumnya, tak mau menggiring tulisan ini ke wilayah politis.
float peserta dari Rusia
***
Kalimat bijak menyebut lebih baik memikirkan banyak ide daripada tidak sama sekali. Ada pula kalimat bijak berkata seribu cita-cita jika tidak satu pun yang coba dilaksanakan adalah sia-sia. Meski mengecewakan, sebagai warga yang lahir, besar dan tinggal di Kota Tomohon saat ini, saya salut dengan terobosan Epe. Bagaimana pun, harus diakui ToF adalah ide brilian jika visinya untuk membuat Kota Tomohon dikenal, maju, modern, masyarakatnya (petani bunga) sejahtera. ToF adalah bagian dari pemikiran yang visioner. ToF mungkin salah satu dari seribu impian seorang Epe yang dipersembahkan untuk kota kelahirannya sendiri dan sudah berhasil dia laksanakan. Kelemahannya, ide tersebut terlalu tergesa-gesa direalisasikan. (*)

Tomohon, 9 Agustus 2010

ToF Ide Brilian

22 Agu 2010

TEGAR

Tak ku tau hari esok

Hanya coba berjalan di titian ini

Tegar..kuat..semangat..yakin

Bukan semu tak juga kepura-puraan

Tapi keharusan

Lupa kalau raga ini rapuh

(10/12’08)

Galau  

Tertegun ku pada kenyataaan

Ini bukan pertama kali…

Seribu tanya mencengkeram jiwa

Kala kabar itu datang

Esok…makin tak punya pasti…

Bentang hari terasa panjang

Galau mengkungkung diri

Merintih pada kerapuhan diri

Mengiba pada bayang-bayang

Tapi harap tak datang…dia jauh…

(9/12’08)



Puisi 

21 Agu 2010

Nelangsa  

Malam merayap..
Benamkan harap...
Deru sahut menyahut...
Rindu pun meredup...
Liku jalan...
Lelahkan hati...
Tergores hayal semu...

17 agust' 2010
(otw mdo-tmhn 22.21)

Puisi 
Imba
Fenomena Imba

Oleh: Arline JK Tandiapa

SEMBILAN tahun lalu, ketika saya pertama kali terjun di profesi kewartawanan, nama Jimmy Rimba Rogi belum sepopuler saat ini. Imba saya kenal pertama kali sebagai seorang anggota Dekot Manado duduk di Komisi D. Kebetulan Dekot Manado merupakan pos liputan pertama saya ketika reporter di Manado Post, induk Harian Tribun Sulut.
Namanya memang saat itu, sudah mulai dikenal, namun lebih karena jabatannya sebagai Ketua Harian KONI Sulut. Dari sejumlah referensi dan penuturan kawan-kawan seprofesi maupun kenalan politisi, karir politik Imba dirintis dari nol. Berangkat dari latar belakang seorang pengusaha, Imba mencoba masuk dunia politik dengan menjabat Ketua Golkar Teling. Perlahan Imba memastikan langkahnya di dunia politik. Posisinya sebagai Ketua Golkar Kecamatan menghantarnya masuk Gedung Tikala sebagai wakil rakyat. Namanya makin membooming ketika berhasil merebut Ketua Golkar Manado sekaligus terpilih Ketua Dekot Manado.
Di posisi inilah, nama Imba melejit bagai meteor. Dari orang nomor satu di legislative, Imba berhasil meraih top eksekutif Kota Manado sebagai Walikota. Ibarat di lintasan tol, Imba kemudian melenggang mulus merebut jabatan politis sebagai Ketua Golkar Sulut saat Musdalub menggantikan almarhum AJ Sondakh. Dalam rentang lima tahun terakhir, sosok Imba dikenal seantero Sulut. Bintang terang nampaknya sedang menaungi pria tambun ini. Saking fenemonalnya, meski pemilihan gubernur Sulut nanti digelar 2010, Imba sudah dinobatkan sebagai calon tunggal Golkar untuk calon gubernur mendatang.
Pengusutan kasus dugaan korupsi APBD Manado 2006 oleh KPK membuat nama Imba makin melambung. Bedanya, kali ini kepopulerannya bukan sesuatu yang berhubungan dengan prestasi. Seluruh media local bahkan nasional gencar memblow-up kasus ini. Imba (dan keluarga) menjadi bulan-bulanan. Status tersangka yang melekat padanya kini, membuat public berasumsi dewi fortuna kini sudah menjauh dari pria berbadan subur ini.
Namun, bukan Imba namanya jika tak bisa menguasai situasi. Ucapannya di salah satu harian local baru-baru ini, membuat saya harus melihat sisi lain dari seorang Imba. Jujur, kata-katanya yang dilansir harian tersebut membuat saya terpukau. Ketika public mulai menghakiminya, Imba tampil sebagaimana pribadinya yang asli saya kenal dalam alamatan hubungan pers dan tokoh public. Ucapannya di harian tersebut seolah menunjukkan ‘inilah saya…Imba’. Dari sisi ilmu komunikasi, inilah yang disebut kekuatan kata-kata. Dan Imba memang jagonya dalam hal ini. Publik yang kebetulan membaca, bisa jadi mulai menganalisa kembali kasus ini. Setidaknya, asumsi vonis ala public mendahului proses hukum mulai ditarik kembali. “Kalau pun bersalah tak perlu diborgol, cukup tunjukkan di mana penjaranya saya sendiri yang akan masuk’’. Kata-katanya yang polos seperti biasa justru memancarkan aura keyakinan.
Orang bisa saja menyebut Imba bodoh, kampungan, tidak elegan, slengean, asal-asalan dan berupa sebutan negative lainnya. Tapi, bagi saya Imba lebih pas disebut unik. Dan, keunikan tersebut justru yang menjadi kelebihan sekaligus kekuatan pribadi Imba. Dengan keunggulannya yang unik tersebut, Imba menjadi seorang yang berkarakter kuat.
Imba pintar memainkan irama kepemimpinannya baik sebagai pemimpin rakyat maupun sebagai pemimpin partai dengan karakternya tersebut. Dia tahu menutupi segala kekurangan dan kelemahannya, dengan sisi pribadinya yang unik tersebut. Imba tahu bagaimana dia harus bersikap bagaimana pun situasi dan kondisi yang sedang melingkupinya. Dia tak mudah menyerah terhadap sebuah situasi, pun ketika orang sudah berpikir, untuk kali ini Imba bakal kalah. Dan banyak yang akan geleng-geleng kepala ketika Imba mampu membalikkan situasi. Banyak sudah contoh nyata dalam diri Imba yang sudah membuktikan hal tersebut. Ketika dia yakin dengan keputusannya, haram baginya untuk menyerah. Penertiban PKL salah satu contoh kekuatan karakternya yang dimainkan lewat kata-kata. “Seribu kali mereka (PKL) melawan, seribu kali saya tertibkan’’ Imba konsisten dengan keputusannya.
Di internal partai pun, Imba lihai menunjukkan ketokohannya. Ketika, sejumlah partai konflik mengenai nomor urut, termasuk kader-kader golkar yang mulai ribut memperebutkan nomor sakti, Imba dengan entengnya berucap, konflik golkar cukup diselesaikan di warung kopi. Selesai. Ketika ucapan sakti tersebut terlontar, tak ada lagi kader golkar yang gontok-gontokkan soal nomor urut.
Kini, Imba kembali diuji. Untuk sejenak, public seolah mulai berkesimpulan jika kali ini Imba bakal jatuh. Publik di negeri ini paham betul, jika penanganan kasus di tangan KPK kecil sekali peluang untuk lolos. Saya bukannya meragukan KPK atau membela Imba. Apapun bentuk penegakan supremasi hukum apalagi pemberantasan korupsi harus disuport penuh. Sekali lagi tulisan ini hanya mau melihat sisi lain kepribadian Imba. Benar, dalam kasus ini, Imba bisa disebut sudah ‘jatuh’. Namun, sebuah kalimat bijak mengatakan, kehebatan seseorang bukan dilihat karena tak pernah jatuh, tapi mampu bangkit kembali setiap kali jatuh. Jika Imba bisa melewati ujian ini, bintangnya mungkin akan semakin terang dan publik Manado bahkan Sulut masih akan terus menikmati fenomena Imba, karena Imba memang fenomenal. (*)

Jimmy 'Imba' Rogi

16 Agu 2010

Berliani


Ini kutitip bunga

Jaga tidurmu dari segala penat

Dinginkan kau dari semburat panas

Hanya dengan satu kelopak

dan tangkai yang teguh

Kumau dia menemanimu

selalu….saban musim


Ini kuberi embun

Basahi mata dan wajahmu

Meski siang menjarah rasa

Kutau kau akan selalu terjaga

dan riang menjemput harimu


Ini kubagi cinta

Tuk yakini kau mahkotaku

Kau indahku yang tak ternilai

Esok masih panjang terberai

Tak ku ragu menuntunmu

dan mengajakmu terbang jauh

sejauh gemintang yang setia menantimu

(Manado, 09 Des 08)


Puisi