10 Sep 2010


TOF, Ide Brilian yang Tergesa-gesa
Vira dan Vincent nonton ToF 2010


KEBISINGAN di luar kamar membangunkan saya pagi Jumat 23 Juli 2010. Dengan mata yang masih mengantuk saya melirik jam mungil yang bertengger di atas meja kamar. Hmm..jarum pendeknya belum lagi berada di angka 7. Saya kembali memejamkan mata tapi indera telinga saya dipertajam mencari tahu kenapa sepagi ini seisi rumah sudah terdengar begitu sibuknya. Belum lagi bisa paham benar dengan situasi di luar, tiba-tiba pintu kamar saya dibuka (saya terbiasa tidak mengunci kamar ketika tidur malam harinya), anak saya Javira berusia 2,7 tahun dengan cepat masuk langsung naik ke atas tempat tidur memegang kedua pipi saya dan dengan suara yang nyaring dari bibir mungilnya, dia berucap, ”Mama-mama bangon jo, tol(r)ang pigi bauni pawai”.
Singkatnya, tepat Pukul 10.00 pagi itu, saya, anak saya, Katrin ipar saya plus dua ponakan saya Vincent dan Vasco berdiri berjejer di depan Cool Supermarket menonton parade kendaraan yang dihias dengan berbagai macam bunga. Puluhan kendaraan peserta pawai menampilkan float dengan ciri khas atau landmark daerah mereka masing-masing termasuk enam peserta luar negeri ikut menampilkan profil khas Negara mereka. Kurang lebih dua jam kami menonton. Tengah hari, karena anak saya dan dua ponakan saya mulai mengeluh kelelahan pun melihat langit yang mulai mendung, saya dan Katrin pun memutuskan untuk pulang rumah meski pawai belum usai.
***
Pawai kendaraan bunga hias 23 Juli itu adalah puncak dari pelaksanaan ivent Tomohon Flower Festival (TFF) dimana di dalamnya terdapat Tournament of Flower (ToF). ToF inilah yang dengan antusias ditunggu anak dan ponakan2 saya untuk ditonton.
Tulisan ini tak ada interest apa-apa, sama sekali tak bermaksud politis apalagi dikaitkan dengan sikap dan pandangan politik saya. Pasti ada pembaca yang berpikir apa hubungannya ToF dengan politik. ToF pertama kali digelar Tahun 2008 lalu. Sebagian besar warga Tomohon tahu jika ToF yang diprakarasai Walikota Jefferson SM Rumajar (JSMR) yang juga Ketua Golkar Tomohon saat ini kurang mendapat dukungan dari parpol lain seperti Partai Demokrat dan PDIP. Apalagi, pada saat itu hubungan antara Epe panggilan Walikota JSM Rumajar dengan Wakilnya Lineke Syennie Watoelangkow (LSW) yang juga Ketua Partai Demokrat Sulut tidak harmonis lagi. Kebetulan (atau sudah diseting), ToF kedua 23 Juli 2010 ini malahan digelar bertepatan dengan agenda Pilwako Kota Tomohon. Pekan dimana ToF sedang berlangsung, Pilwako Tomohon sementara melangsungkan tahapan kampanye. Situasi politik di Kota Tomohon bisa disebut sedang membara-baranya. Maklum, Epe saat itu juga berstatus incumbent karena oleh Golkar diusung kembali sebagai calon walikota 2010-2015. Sementara, Partai Demokrat di pilwako kali ini sepakat berkoalisi dengan PDI Perjuangan dengan mengusung Syennie sebagai calon walikota. Epe-Syennie padahal 2005 lalu dipilih langsung rakyat Tomohon sebagai walikota dan wakil walikota tapi di 2010 ini memilih berpisah. Pertarungan dua tokoh ini lah yang kemudian menyeret ToF dijadikan komoditi politik oleh dua kubu tersebut.
Saya tak berniat mengulas soal perseturuan politik Epe dan Syennie atau antara tiga parpol (PG, PD, PDIP) ini. Namun, kenapa saya terpaksa menyentil soal ini, karena bagi yang mengenal saya bisa saja langsung under estimate membaca pandangan saya soal pelaksanaan ToF kali ini. “Ah, sudah pasti dia bilang ToF mengecewakan. Kan dia pendukung si anu…Kan dia partai anu..’’
Saya sangat paham jika ada yang berpikir seperti itu atau menilai saya dengan kacamata politik. Bagi saya itulah dinamika. Namun, apa yang saya ungkapkan di tulisan ini murni memposisikan diri sebagai warga Tomohon berdasarkan pengamatan didorong naluri jurnalistik saya.
Tanpa maksud menyinggung siapapun, saya terpaksa mengatakan jika TOF kali ini jauh dari sukses. Ketika pagi itu saya dibangunkan anak saya untuk diajak nonton ToF, saya tertular antusiasme anak dan ponakan-ponakan saya untuk tak ketinggalan menonton ToF yang sudah sebulan terakhir gencar digembar-gemborkan bakal spektakuler. Sayang..dua jam lebih saya menonton saya harus jujur mengatakan ToF 2010 ini mengecewakan. Lebih dari itu, sebagai warga Tomohon, saya malah merasa malu ketika menonton. Mungkin kalau tidak menonton langsung, rasa malu dan kekecewaan saya tidak seberapa. Saat menonton, mata saya liar mengamati sekeliling mencari warga yang menujukkan tanda-tanda sebagai pendatang. Saya ingin tahu, apa pendapatnya setelah menonton ToF. Sayang, beberapa meter dalam jarak pandang saya, tak ada tanda-tanda kehadiran warga pendatang.
Vira dan Mama
Saya memang bukan panitia bukan pula event organizer (eo) yang tahu persis teknis pelaksanaan ToF kali ini. Tapi sepertinya, baik panitia maupun EO (ditenderkan) tidak siap. Logikanya, karena ToF Juli 2010 dianggarakan di APBD 2010 dan APBD 2010 ditetapkan akhir 2009, harusnya sejak itu, persiapan pelaksanaan ToF sudah dimulai. Mungkin saya keliru, tapi sampai dua bulan jelang ToF, tanda-tanda jika di Tomohon akan digelar event internasional belum terlihat. Tender siapa EO yang berhak mengatur event ini pun baru diumumkan antara April-Mei. Praktis, waktu dua bulan tak cukup bagi EO seprofesional apapun untuk mengemas event yang ditetapkan bertaraf internasional. Pihak Kementrian Pariwisata dan Budaya yang sudah memback-up event ini pun tidak terlalu memberi pengaruh besar dalan hasil akhir pelaksanaan ToF.
Ketika Juli tiba, saya yang tiap hari harus bolak balik Tomohon-Manado selalu bertanya dalam hati. Mana ornament-ornamen penunjang yang menunjukkan kalau di Kota Tomohon nanti pada 19-24 Juli nanti akan ada event bertaraf internasional yang akan digelar. Pekan ketika TFF dimulai, perbatasan Manado-Tomohon hanya ada satu baliho ucapan selamat datang kepada peserta TFF. Di sepanjang jalur Manado-Tomohon hanya dipasang arcus (warundak) di sisi kiri dan kanan di setiap beberapa meter. Masuk Kota Tomohon pun sama biasanya. Selain, beberapa baliho dari pemerintah tak ada lagi ornament penyemarak TFF/ToF. Beberapa kali saya sempat nyeletuk dalam hati, “Rupanya cuma pemerintah yang semangat menyambut ToF, masyarakat tidak,’’. Bandingkan jelang 17an Agustus, masyarakat tanpa diperintah pun mengecat pagar rumah dan bersih-bersih. Kalau jelang paskah atau natalan sepanjang jalan hingga lorong-lorong dipenuhi lampion beraneka bentuk dan warna. Padahal ToF event bertaraf internasional dan di Indonesia, hanya beberapa daerah saja yang bisa melaksanakan.
Hasil puncak terlihat pada 23 Juli. Feeling saya, jika masyarakat tak lagi antusias menyambut ToF sedikit terbukti. ToF pertama kali 2008, kegairahannya sangat terlihat sejak awal ide ini diluncurkan Epe. Masyarakat khusususnya petani bunga bersemangat menanam, merawat bunga hias supaya nantinya bisa dipakai (dibeli) peserta ToF. Publikasi pun gencar dan terekspose baik. Kota Tomohon pun semarak. ToF 2008 bagi saya sangat sukses. Kota Tomohon makin dikenal dan menasional. Sangat disayangkan, meski sukses, ToF 2008 menyisakan kekecewaan kepada beberapa petani bunga di Tomohon karena bunga mereka tak terpakai sehingga menderita kerugian.
Trauma itu mungkin yang membuat masyarakat khususnya petani bunga di Tomohon tak bergairah lagi menyambut ToF 2010. Pemerintah, panitia dan EO pun sepertinya kurang memperhitungkan hal ini. Hasilnya, sebagian besar float peserta ToF terpaksa dihias seadanya karena kekurangan bunga sebagai bahan baku utama. Daun, biji-bijian menjadi bahan alternatif menghias float. Itulah kenapa saya berani mengatakan malu dengan hasil pelaksanaan ToF tahun ini. Harusnya yang malu bukan saya saja, atau warga Tomohon yang punya pengamatan serupa. Tapi secara keseluruhan Kota Tomohon baik pemerintah dan masyarakatnya harus malu. Masakan pawai kendaraan bunga tapi hiasannya daun, biji-bijian atau 80 persennya cuma streofoam bahkan ada float yang terpaksa hanya dicat karena tak ada lagi bahan baku. Inikah Kota Tomohon yang ditahbiskan sebagai Kota Bunga? Dengan alokasi anggaran Rp8 miliar dalam APBD, ToF 2010 ini mengecewakan. Apalagi,ini sudah pelaksanaan kedua kali sehingga pengalaman tak baik saat pelaksanaan pertama kali harusnya sudah dijadikan pelajaran. Memang, ada beberapa factor yang membuat ToF kali ini tak sesukses 2008 lalu. Namun, saya tak ingin membahas di sini. Saya komit dengan pernyataan sebelumnya, tak mau menggiring tulisan ini ke wilayah politis.
float peserta dari Rusia
***
Kalimat bijak menyebut lebih baik memikirkan banyak ide daripada tidak sama sekali. Ada pula kalimat bijak berkata seribu cita-cita jika tidak satu pun yang coba dilaksanakan adalah sia-sia. Meski mengecewakan, sebagai warga yang lahir, besar dan tinggal di Kota Tomohon saat ini, saya salut dengan terobosan Epe. Bagaimana pun, harus diakui ToF adalah ide brilian jika visinya untuk membuat Kota Tomohon dikenal, maju, modern, masyarakatnya (petani bunga) sejahtera. ToF adalah bagian dari pemikiran yang visioner. ToF mungkin salah satu dari seribu impian seorang Epe yang dipersembahkan untuk kota kelahirannya sendiri dan sudah berhasil dia laksanakan. Kelemahannya, ide tersebut terlalu tergesa-gesa direalisasikan. (*)

Tomohon, 9 Agustus 2010

ToF Ide Brilian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar