![]() | |
| Kandidat Walikota-Wakil Walikota Manado |
Demokrasi yang Tergugat
Oleh: Arline JK Tandiapa
‘’Saya pasti akan ikut PSU. Karena kalau tidak saya akan kena denda. Tapi PSU harus berjalan tanpa ada kecurangan. Kalau tidak saya akan melakukan gugatan’’
Statement itu disampaikan salah satu kandidat Pilwako Manado yang dilansir salah satu media cetak, terkait dengan pemungutan suara ulang Pilwako Manado. Memang, pasca dikabulkannya sebagian gugatan pemohon oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gelaran pemilukada di Sulut khususnya di Manado, Minut dan Tomohon memasuki babak baru. Intinya, MK membatalkan hasil pemilukada 3 Agustus di Manado, Minut dan Tomohon dan menginstruksikan menggelar PSU di seluruh TPS se-Kota Manado, PSU di Kecamatan Wori Minut, PSU di Kelurahan Wailan Tomohon dan Penghitungan Ulang seluruh kotak suara se-Kota Tomohon.
Pasca putusan itu, pro kontra langsung menyeruak, disambut beragam pendapat dan penilaian seluruh eleman masyarakat di Sulut khususnya di tiga daerah yang memiliki hajatan pilkada. Semua punya pendapat masing-masing mulai dari tim sukses para kandidat, politisi, pengamat, aktivis hingga warga biasa pun tak mau ketinggalan mengomentari putusan MK tersebut. Ada yang berpendapat putusan MK tersebut adalah bagian dari keadilan demokrasi. Sebagian lagi merasa tak puas, menilai putusan MK itu tak sesuai substansi gugatan. Rupa-rupa pendapat mengkritisi lembaga tertinggi penegak aturan perundang-undangan tersebut. Pokoknya, kontroversi seputar amar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap hasil pemilukada 3 Agustus di Manado, Minut dan Tomohon masih terus bergulir hingga pekan ini.
Tulisan ini bukan maksud untuk menghakimi pendapat para pakar dan pengamat hukum, bukan pula mengkritisi analisis politisi dan pengamat politik. Karena sebagai bukan seorang yang memiliki latar belakang ilmu hukum dan politik, saya tak memiliki kompetensi mengomentari. Pertanyaan inti dalam pikiran saya ketika menulis ini adalah apa dan kenapa 6 pesta demokrasi di Sulut 3 Agustus lalu, semuanya berbuntut gugatan ke MK.
Sekadar mereview, sejak dibukanya kran pemilihan langsung, Sulut telah melangsungkan sejumlah hajatan pilkada langsung. Dimulai lima tahun lalu atau Tahun 2005 di Sulut, Manado, Tomohon, Minsel, Minut dan Bitung. Diikuti Pilkada di Bolmong dan Sangihe Tahun 2006, Pilkada di Minahasa Tahun 2007 dan terakhir Pilwako KK tahun 2008. Semuanya berjalan dengan baik, lancar dan sukses. Benar ada beberapa gugatan, namun tak meruncing. Riak-riak yang terjadi kala gelaran pilkada tersebut digelar dinilai sesuatu yang wajar sebagai bagian dari dinamika politik.
Karena itu, sangat mengherankan 6 pilkada di Sulut tahun ini harus berbuntut gugatan ke MK. Tiga diantaranya bahkan putusan sela yang amar putusannya menjadi persoalan baru yang saat ini tengah pusing dihadapi banyak pihak. Bagi kandidat yang gugatannya dikabulkan MK, sudah pasti PSU disambut sukacita disertai optimis baru untuk bisa merebut kemenangan. Mungkin bagi kandidat lain yang mengakui kekalahan, PSU akan ditanggapi biasa saja bahkan cenderung masa bodoh lagi. Tak ingin didenda, ikut tapi tak bekerja (baca: mengeluarkan cost politik lagi). Tapi bagi kandidat yang sudah menang ketika pemilukada 3 Agustus, PSU menjadi semacam ‘bad dream’. Tak ada ketenangan, tak bisa tidur nyenyak, cemas, khawatir pasti melanda selama masa-masa penantian dilaksanakannya PSU. Harga diri, kehormatan, jabatan yang sudah digenggam harus dilepas sementara untuk dipertaruhkan kembali.
KPU sebagai lembaga penyelenggara pun sama pusingnya. Mengulang pekerjaan yang sudah tuntas dikerjakan akan sangat melelahkan. Bahkan menguras tenaga dua kali lipat dari pekerjaan pertama. Belum lagi, diperhadapkan dengan persoalan dana yang menjadi factor penentu sekaligus kesuksesan jalannya PSU. Lembaga ini juga menghadapi berbagai macam sorotan, kritik, tuntutan dari banyak pihak yang mempertanyakan kesiapan, kredibilitas hingga kenetralan mereka sebagai insitusi penyelenggara.
![]() | ||
| Ketua KPU Sulut Livie Allow |
Ketika, MK mengeluarkan amar putusannya, semua ramai–ramai menghakimi lembaga ini. Padahal, sesungguhnya 6 pemilukada di Sulut tak akan bermuara di MK kalau sedari awalnya, peletakan fondasinya baik dan pada proporsinya. Karena itu, tak salah jika salah satu kandidat mengeluarkan peringatan keras terhadap pelaksanaan PSU nanti. Bisa dibayangkan bagaimana pelik dan melelahkannya Pilwako Manado yang terus diperhadapkan dengan gugatan. Seandainya, diatas MK ada lembaga tertinggi lainnya, mungkin saja kandidat yang menjadi termohon sudah melakukan banding. Dan rakyat akan dipaksa terus bersabar menanti siapa pemimpin definitive lima tahun mendatang.
Pemilukada sudah dilakukan, gugatan sudah terjadi, MK sudah mengeluarkan amar putusannya, PSU sudah diintruksikan. Tak banyak manfaat terjebak dalam kontroversi putusan itu. Sekiranya semua pihak sama-sama mengarifi kemudian menjalankan dan mengawalnya dengan baik supaya tak terjadi lagi gugatan di atas gugatan yang hanya akan menguras waktu, tenaga dan uang dengan sia-sia. Pemilihan langsung sebagai aplikasi demokrasi harus tergugat. Sangat tak bijaksana jika rakyat menjadi korban atas kepentingan dan keegoisan para elit politik.
Namun, sebagai catatan akhir, jika badai ini sudah berlalu, pertanyaan siapa yang harusnya bertanggung jawab terhadap semua kekisruhan ini, pantas ditelusuri. Ada banyak pengorbanan dan kerugian yang terjadi karena amburadulnya pelaksanaan pemilukada. Akar persoalan harus ditemukan dan dicari penyelesaiannya. Ini penting untuk pembelajaran politik, pembenahan sistim demokrasi dan untuk mencegah terciptanya kembali ‘dosa-dosa’ politik. (*)
Dimuat di Harian Radar Manado 17 September 2010


Tidak ada komentar:
Posting Komentar