9 Okt 2010

Pekan untuk
Duo Harry      
 
Oleh: Arline JK Tandiapa
 
ADA dua peristiwa penting yang terjadi pekan ini. Peristiwa pertama adalah pelantikan Sinyo H Sarundajang-Djouhari Kansil sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada Senin 20 September lalu. Peristiwa kedua terjadi sehari kemudian Selasa 21 September ketika Kejaksaan Tinggi Sulut mengeksekusi Mantan Wakil Gubernur Sulut Freddy H Sualang ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tuminting.

Freddy Sualang tegar sesaat sebelum masuk LP Tuminting
Dua peristiwa yang kontras ini, cukup menyita perhatian publik Sulut. Kedua momen tersebut diblow up habis-habisan seluruh media di Sulut. Fakta menarik di balik dua peristiwa tersebut adalah moment lima tahun silam manakala Mendagri saat itu M Ma’aruf melantik pasangan Sinyo Harry Sarundajang dan Freddy Harry Sualang sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulut periode 2005-2010. Duo ‘Harry-Harry’ kala itu menjadi magnet bagi warga Nyiur Melambai, karena keduanya terpilih sebagai pemimpin sulut dalam sebuah pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang untuk pertamakali digelar. Tak heran, pengambilan sumpah dan pelantikan Sarundajang-Sualang yang dilaksanakan secara sederhana di Ruang Mapalus Kantor Gubernur 13 Agustus 2005 dihadiri oleh ribuan masyarakat dari seantero Sulawesi Utara.
Saya pribadi yang ikut hadir menyaksikan moment bersejarah itu, bisa menyaksikan bagaimana animo masyarakat menyaksikan pelantikan tersebut. Mereka tak peduli meski hanya menyaksikan lewat layar monitor yang disiapkan panitia di luar ruangan Aula Mapalus pun harus berdesak-desakan. Mata mereka setia mengamati monitor menyaksikan detik-detik pemimpin yang mereka pilih langsung resmi menyandang status gubernur dan wakil gubernur. Sejauh ingatan saya, sepanjang ruas jalan 17 Agustus  padat oleh parkiran kendaraan. Sebagian besar kendaraan-kendaraan itu justru datang dari luar kota Manado. Mereka, warga Sulut yang datang dari berbagai wilayah di Sulut itu bukan saja menikmati moment tersebut namun ikut labur mengklaim bahwa ini adalah perayaan kemenangan rakyat.
Namun, kenangan indah itu tak bertahan lama. Pertengahan Agutus 2009, Sualang harus dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur Sulut terkait dengan statusnya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi MBH yang ditangani Pengadilan Negeri Manado sejak tahun 2003. Meski, oleh PN Manado Sualang (dan Abdi Buchari) diputus bebas murni, namun kasasi di tingkat MA yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Sulut menghasilkan putusan berbeda. Sualang harus menjalani masa tahanan dua tahun. Perjalanan MBH-gate yang panjang, melelahkan dan menguras tenaga, pikiran dan materi itu mencapai puncaknya pada 21 September lalu, ketika Sualang yang meski kondisi fisiknya secara medis sedang sakit parah, ikhlas menjalani putusan tersebut. Sualang, yang saking letihnya terus berpolemik dengan masalah ini, merelakan dirinya menyandang status napi demi tuntasnya kasus ini. Meski tetap mencoba tegar, Sualang hanyalah sebuah pribadi biasa, manusia yang lemah. Di depan pintu LP Tuminting, ketika memeluk satu persatu kader partai dan pengikutnya yang setia mendampinginya, airmata Sualang tumpah. Bahwa di tengah pergumulannya, masih banyak orang yang peduli dan mau berempati. 
Sinyo Harry Sarundajang
 Suasana bertolak belakang berlangsung sehari sebelumnya. Berlangsung di Grand Kawanua Internasional City, gedung berstandart Internasional, disaksikan ribuan undangan sekelas menteri, gubernur sejumlah propinsi serta petinggi parpol dan pejabat seantero Sulut dan luar daerah, Sarundajang berdiri dengan gagahnya ketika Mendagri Fauzi Gamawan mengambil sumpah dan melantiknya sebagai Gubernur Sulut ke-14  didampingi Djouhari Kansil sebagai wagub. Kemegahan dan kemeriahan belum berhenti sampai di situ, malamnya di tempat yang sama digelar pesta resepsi juga dengan para undangan yang sengaja ‘dipilih’. Pantas saja, baik pemprov, KPU dan deprov enggan terbuka dengan budget yang disediakan untuk kesuksesan acara tersebut.
Ironis. Karena pilkada dimana rakyat yang terlibat langsung memilih siapa pemimpin yang dikehendakinya, tak mendapat kesempatan ikut menikmati. Nuansa pelantikan pemimpin rakyat berubah menjadi pestanya kaum elit bukan lagi pesta rakyat. Saya tak bisa menebak apa isi pikiran dari Mendagri Gamawan Fauzi ketika menyaksikan pelantikan SHS-DK tersebut. Apakah dia sempat membandingkan moment pelantikan Marlis Rahman yang menggantikan dirinya sebagai Gubernur Sumbar awal Desember 2009 lalu pasca dirinya dipercayakan SBY sebagai Mendagri. Marlis Rahman yang sebelumnya wakil gubernur dilantik menjadi gubernur secara sederhana. Gamawan yang sendiri melantik Rahman pasti ingat kalau pelantikan kala itu hanya dilakukan di bekas garasi mobil DPRD Sumbar. “Meski hanya dilakukan di ruang yang dulunya garasi mobil, tapi suasananya tetap khidmat dan nyaman. Fasilitas ruangan cukup memadai,” ungkap Nasral Anas Sekwan Dekab Sumbar.
Disayangkan. Karena di tengah banyak keprihatinan yang terjadi, kepekaan justru menumpul. Tak perlu menggugat. Tak usah juga dipersoalkan. Baik Sualang maupun Sarundajang hanya pribadi biasa. Sebagai manusia, Sualang juga tak luput dari kesalahan. Menjalani dua tahun sebagai seorang tahanan dengan kesehatan yang makin rapuh, Sualang sudah menebusnya. Rekam jejak Sualang jelas menulis ada banyak jasa dan kebaikan yang sudah ditorehkan dalam proses pembangunan Sulut. Sebagaimana sebuah kalimat "Ingat kebaikan orang lain pada kita. Ingatlah kesalahan kita pada orang lain. Tapi lupakan kebaikan kita pada orang lain. Lupakan kesalahan orang lain pada kita"
Di moment Ulang Tahun Sulut ke 46 ini juga, sepatutnya menjadi refleksi bersama. Saatnya untuk menanggalkan segala perbedaan. Kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Peristiwa 20 September semoga menjadi motivasi baru bagi SHS-DK bahwa kemegahan pesta itu cukup sehari saja. Lima tahun ke depan, hari-hari mereka akan diisi dengan pengabdian kepada rakyat Sulut sebagai bayaran telah mempercayakan mereka sebagai pemimpin Rakyat Sulut. Sebagaimana sebuah testimony Soekarno, ”Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” (*)

Dimuat di Harian Radar Manado 25 September 2010